Kami memutuskan untuk lebih banyak waktu bersama Ibu. Terutama untuk kedua kakakku. Ibu masih ingat kami sebagai anaknya meski tak seterang dulu. Ibu masih bisa berbicara, meski pelafalannya tak begitu jelas. Ibu tak bisa mengenali waktu. Dia tak lagi membahas apakah sekarang pagi atau sore. Bagi Ibu semua waktu menjadi sama. Ibu juga tak bisa lagi mengidentifikasi tetangga dekat. Ibu merasa asing dengan banyak orang.
“Ibu ingin apa?” inilah kalimat yang bagai mantra dariku untuk Ibu.
Ibu hanya melihatku dengan sedikit hampa, kemudian menggelengkan kepala.
“Ibu mau jalan-jalan?”
Ibu tak segera menjawab, seolah Ibu sedang mencerna pertanyaanku.
“Jalan-jalan?” tanyanya dengan suara lemah.
“Ya. Mau jalan-jalan?”
Ibu kali ini mengangguk. Aku memakaikan hand band strap anti lost. Tangan Ibu bergerak tak terkendali, tapi dengan cekatan aku memakaikan tali itu. Satu hand band kupakai di pergelangan tanganku sendiri. Tapi saat naik ke atas mobil, aku baru ingat akan kesusahan naik ke atas. Maka aku meminta Ibu naik ke atas mobil dulu. Hand band di tanganku kulepas dulu. Setelah sampai ditujuan dan turun dari mobil, barulah hand band strap anti lost kukenakan kembali. Meski memakai tali pengaman itu, tangan Ibu tetap kugenggam, namun Ibu berusaha melepaskan tanganku karena gerakan tangannya yang tak terkendali. Aku memahami itu, maka kami berjalan berjejer dengan jarak sangat dekat.
Orang-orang melihat ke arah kami. Mungkin mereka berpikir mengapa ada tali semacam per yang mengikat tanganku dan Ibu. Kami berjalan di sepanjang Gladak. Di bawah naungan rindangnya pohon-pohon purba itu, aku mengajak Ibu berjalan-jalan. Ketika sudah cukup lelah, aku mengajak Ibu duduk di kursi panjang di taman.
“Dulu setiap sore Ibu dan Bapak sering mengajakku jalan-jalan ke sini.” Aku menoleh ke Ibu.
Bibir Ibu tersenyum. Ibu hanya mengangguk-angguk, meski aku tak yakin Ibu mengingat moment itu. Ibu melihat orang-orang yang lalu lalang, melihat becak yang hilir mudik di sepanjang Gladak.
Strap anti lost menjadi kawan baik kami. Ada waktu Ibu menolak memakainya. Jika Ibu menolak, maka aku tidak boleh memaksa. Aku tidak bisa membuat keadaan Ibu menjadi tak nyaman. Hal itu akan mengganggu ingatan dan kesehatannya. Ibu sudah sering mengalami kecemasan, aku tidak boleh menambahnya. Meski saat ingatan Ibu benar-benar melebur, aku mengandalkan alat itu.
Seperti yang diduga, Ibu mulai melupakan anak-anaknya. Ibu mulai tak mengenali Demas dan Nilam. Saat keduanya menyadari itu, kedua kakakku menangis tersedu. Aku tak bisa mengatakan bagaimana perasaanku. Lalu pada akhirnya pun Ibu juga melupakanku. Ibu bahkan seringkali ketakutan saat melihatku muncul. Bagi Ibu aku manusia asing yang ada di dekatnya.
Saat Ibu berteriak ketakutan karena tak mengenali lagi sosok di dekatnya ini, aku hanya bisa menenangkan Ibu dengan kalimat...
“Aku Lilin, aku anak Ibu.” Ucapku mantap.