Ibu Susu untuk Bayi Gaib

Hayisa Aaroon
Chapter #2

2. Suami Nyonya Arini

"Tini ...!" Suara sang nyonya membuatnya tersentak. "Apa yang kamu lihat, hah?!"


Tini yang masih memegang daun pintu buru-buru menutupnya dengan sangat hati-hati. 


"I-itu … ukiran pintunya bagus, Nyonya …," balasnya cepat, tatapannya mengikuti gerakan Nyonya Arini yang tengah menarik lepas kain jarik Sido Asih dari cermin besar. 


Ukiran bunga melati di sekeliling cermin seakan mengingatkannya pada hiasan peti mati.


"Jadi pembantu di rumah ningrat itu harus tahu batasan. Mata sama telinga dijaga. Apa yang kamu lihat, dengar di rumah ini, simpan dalam hati. Itu tata kramanya jadi pembantu. Hargai saya yang kasih kamu gaji besar. Saya tidak mau mata kamu jelalatan lagi. Paham?"


"Njihhh ... Nyonya!" Tini mengangguk sembari melangkah mendekat. Lantai tegel di bawah kakinya terasa lebih dingin di ruangan itu.


"Sekarang, buka baju. Semuanya!"


Nyonya Arini bergerak ke arah jendela yang masih terbuka. Angin pagi yang masuk membawa aroma bunga kenanga dari halaman. 


Satu per satu, jendela dan gorden ditutup rapat hingga kamar itu hanya diterangi cahaya redup yang menyorot dari celah ventilasi.


Dengan canggung, Tini mulai melucuti pakaiannya. Sesekali ia menoleh ke belakang, dadanya berdebar kencang. 


Dalam keremangan, ia seperti merasakan hadirnya sepasang mata yang mengawasi. Setiap kain yang terlepas dari tubuhnya seakan disambut deru napas yang tak terlihat.


Sementara Nyonya Arini sibuk menyalakan lilin-lilin di atas meja rias berpelitur cokelat tua yang senada dengan perabotan kamar itu. 


Di atas meja, sebuah wadah pembakaran menyan dari tanah liat mulai mengepulkan asap. Di sisinya, mangkuk tanah liat berisi kuncup melati segar, Sang nyonya sesekali meraihnya, memasukkannya ke mulut seolah sedang menikmati panganan ringan.


"Angkat tangan kamu, Tini! Rentangkan ke samping! Kaki kamu juga buka lebar-lebar!" perintah sang majikan sembari mendekat membawa wadah bakaran kemenyan yang mengepulkan asap wangi.


Bulu roma di kulit kuning langsat Tini semakin meremang ketika sang majikan mengitarinya, mengarahkan kepulan asap harum itu ke tubuhnya. 


Kabut putih mulai memenuhi ruangan, pandangan Tini mengabur, benda-benda di sekelilingnya hanya berupa siluet samar. 


Asap dupa yang mengitarinya terasa aneh—hangat dan hidup, seolah memiliki kehendaknya sendiri.


Tini mulai gemetar saat sensasi hangat itu menjelajahi tulang punggungnya dengan perlahan. 


Sementara itu, sang majikan berdiri di hadapannya, menaburkan kemenyan pada bara yang terus membumbungkan asap tebal.


Didorong rasa penasaran yang tak tertahankan, Tini menoleh ke belakang saat tirai asap menghalangi pandangan majikannya. Napasnya tercekat—di sana berdiri siluet seorang pria tinggi yang menawan.

Lihat selengkapnya