Ibu Susu untuk Bayi Gaib

Hayisa Aaroon
Chapter #3

3. Tuan Ario

"Ayo ditelan makanannya! Jadi laki-laki jangan menyusahkan!"

Yang lebih mengejutkan, Tuan Ario menyemburkan bubur dalam mulutnya ke wajah Nyonya Arini, lalu meludahi perut buncitnya, membuat perempuan itu menamparnya kuat-kuat.

“Laki-laki tidak tahu diuntung …!” Nyonya Arini mengusap wajahnya dengan serbet yang terlipat di meja.

Alih-alih menyesal, Tuan Ario justru tertawa seperti orang gila. “Bunuh saja aku, Arini …! Kenapa kau biarkan aku tetap hidup?”

Dengan kesal Nyonya Arini melemparkan serbet ke wajah suaminya yang masih terus tertawa geli. Lalu tatapan tajamnya beralih pada Tumini yang berdiri dengan kepala tertunduk.

 "Tum! Suap sampai habis. Awas kalau tidak habis, saya potong gaji kamu!" Jeda sejenak, matanya menyipit. "Omong-omong, kamu belum dapat gantinya Jumiati?"

"Ngapunten, Nyonya. Belum." Suara Tumini kemudian merendah. "Jumiati yang hilang tiba-tiba tanpa kabar membuat orang-orang kampung takut bekerja di sini."

"Memangnya kamu tidak cerita kalau Jumiati minggat sama selingkuhannya?!"

"Sudah, Nyonya. Tapi ... banyak yang meragukan karena Jumiati tidak pernah terlihat punya selingkuhan. Yang orang-orang tahu, pagi itu dia masih datang ke sini untuk mengurus Tuan Ario."

Hening sejenak, hanya diisi tawa Tuan Ario yang terdengar semakin geli mendengar percakapan istrinya, membuat Nyonya Arini tampak semakin kesal.

"Ya sudah! Selesai menyuapi Tuan, langsung kembali ke dapur. Bagian dapur kekurangan tenaga untuk persiapan besok. Jangan sampai ada yang kurang! Saya tidak mau keluarga Mas Ario berkata yang tidak enak tentang jamuan di rumah ini."

"Njih ... Nyonya ..." Tumini perlahan menegakkan punggung, namun dahinya tiba-tiba berkerut. "Tapi Nyonya—"

"Tapi apa lagi?" Mata Nyonya Arini melotot, hampir habis kesabaran.

"Tadi Nyonya minta saya melap badan Tuan setelah makan?"

"Duhhh!" Helaan napas panjang keluar dari mulut Nyonya Arini. Tangannya menangkup dahi menahan pusing. "Sudah, biarkan saja! Tidak usah dilap dulu pagi ini. Lagipula, ibu tidak ke sini hari ini. Ada undangan ke luar kota. Yang penting kamu suapi dia, lalu bantu bagian dapur. Tidak ada waktu lagi!"

Di balik pintu, Tini yang sedari tadi mengintip sontak mundur teratur. Jantungnya berdegup kencang saat mendengar langkah kaki Nyonya Arini mendekat. 

Dengan cepat ia duduk bersimpuh di lantai, pura-pura melipat pakaian, seolah tak menyaksikan apa pun.

"Ayo Tini, ikut saya!"

Suara tegas itu membuat Tini tersentak. Ia bergegas bangkit, mengikuti langkah tergesa majikan barunya. 

Koridor rumah tua itu terasa semakin gelap dan pengap saat mereka berjalan menuju kamar mandi dekat dapur.

"Kamu mandi di sini!" perintah Nyonya Arini. "Di dalam sudah ada air kembang. Gosok badanmu pakai lulur yang sudah disiapkan. Setelah itu, berpakaian rapi dan temui saya di ruang tamu. Mengerti?"

"Njih ... Nyonya!" Dada Tini berdebar semakin kencang.

Jadi benar, pikirnya sembari mengamati Nyonya Arini yang melenggang pergi. Keanehan Nyonya Arini yang jadi buah bibir di kampung memang nyata.

Kaki Tini ragu melangkah masuk. Kamar mandi itu terlalu mewah untuk ukuran pembantu—lantai tegel bersih, cermin besar dengan bingkai ukiran, bahkan pakaian telah terlipat rapi di atas bangku kayu jati.

Lihat selengkapnya