Ibu Susu untuk Bayi Gaib

Hayisa Aaroon
Chapter #4

4. Tumini

Langkah Tumini terhenti mendadak. Nada menuntut dalam suara Tini membuatnya tak bisa berlalu begitu saja. Bagaimanapun, perempuan itu keponakannya.

Dengan helaan napas lelah, Tumini mengusap anak rambut yang bandel mencuat ke dahinya, lalu berbalik mendekat. Wajahnya campuran antara lelah dan kesal.

"Sudah to, Tin!" Suaranya rendah dan jengkel. "Jangan banyak tanya. Kerjakan tugasmu, di luar itu—sudah, jangan penasaran. Kamu ini …."

Ia mendekat lagi, suaranya semakin pelan. "Mbok De paling anti bawa orang kerja yang masih muda. Kayak kamu sama Jumiati itu—kebanyakan tanya. Kalau bukan karena keluarga, Mbok De tidak akan mau bawa kamu ke sini."

Tini terdiam, mulai merasa bibinya menyembunyikan sesuatu.

"Lagipula," Tumini melanjutkan, rumah ini kan memang dekat hutan, rumah paling jauh di kampung ini, memang sesekali terlihat ular, sudah biasa. Mereka tidak akan menggigit kalau tidak digang—."

"Tapi kalau tidak sengaja terinjak?” Tini tak bisa menahan diri untuk tidak memotong. "Tidak mungkin ularnya diam saja, kan Mbok De? Tetap saja, bahaya. Memangnya Nyonya Arini tidak menyuruh orang untuk menangkap ular-ular itu? Saya paling takut ular!"

Tumini sekali lagi menghela napas panjang, agak lelah dengan keponakannya yang terlalu banyak mulut.

"Gini lho, Tin ..." Ia memulai lagi dengan suara lelah namun bijak. "Kata orang tua jaman dulu, tidak baik membunuh ular apalagi kalau yang punya rumah sedang hamil. Jadi Nyonya tidak berani mengganggu, apalagi membunuh ular-ular itu."

Tini mengerutkan alis, ada benarnya kata-kata bibinya.

"Tapi jarang kok," Tumini cepat menambahkan. "Mbok De saja malah belum pernah lihat. Dulu si Jumiati yang sering lihat. Pembantu lain paling sesekali, pas bersihkan taman, tapi ularnya diam. Jumiati saja yang terlalu melebih-lebihkan."

Tumini tiba-tiba mengangkat tangannya. Empat pasang gelang emas tipis bergemerincing di pergelangannya. Dua cincin berkilau di jarinya, memantulkan cahaya redup.

"Lihat ini!" Senyumnya riang dengan mata berbinar. "Kamu yang belum kerja saja sudah dapat enak begini. Nyonya Arini orangnya memang baik, tidak pelit. Beliau memperlakukan kamu dengan baik supaya kamu sepenuh hati mengurus bayinya nanti."

Tini mengangguk pelan, kata-kata Tumini masuk akal. 

"Satu lagi," Tumini menepuk bahu Tini dengan gemas. "Apa yang kamu lihat dan dengar di sini, jangan cerita ke luar. Seperti Jumiati—kurang ajar, tidak tahu terima kasih. Cerita yang aneh-aneh tentang Nyonya Arini."

Senyum ceria merekah di wajah Tumini, saat kembali memandangi perhiasannya.

"Sudah, cepat mandinya. Nyonya tidak suka orang bau."

Tumini berbalik pergi, langkahnya tergesa. Tini menggeser slot kayu pintu kamar mandi. Suaranya menggema dalam keheningan yang mencekam.

Matanya menyapu sekeliling dengan was-was. Ular itu bisa muncul kapan saja. Dari mana saja.

Pandangannya jatuh pada tempayan tanah liat. Kelopak-kelopak bunga merah di permukaannya bergerak-gerak aneh, seperti ada sesuatu di bawahnya yang berusaha keluar.

Dengan tangan gemetar, Tini menyibak bunga-bunga itu menggunakan gayung batok kelapa. Air di bawahnya jernih, terlalu jernih. Seperti cermin cair yang sempurna.

Lihat selengkapnya