"Kenapa kamu tanya begitu?"
Suara Tumini berubah drastis, membuat Tini semakin dirongrong rasa penasaran.
"Ahh ... tidak, Mbok De. Hanya seperti … pernah melihat, tapi lupa di mana."
"Yo cuma mirip saja mungkin." Tumini tertawa pelan, tawa yang seperti dipaksakan. "Tuan Ario tidak punya kembaran. Beliau anak tunggal."
Tumini merapikan lipatan kain jarik dengan gerakan terburu-buru namun tetap teliti, hingga kain jarik bermotif sawat—dua sayap yang mengembang—membalut sempurna tubuh Tini.
"Ini semua baru ya, Mbok De?"
Tini mengelus kain halus itu. Terlalu bagus. Terlalu mahal untuk seorang pembantu.
"Iya. Nyonya Arini baik sekali orangnya. Makanya jangan membuat Nyonya jengkel. Beliau kan sedang hamil, mudah marah."
Tumini merapikan kebaya brokat hitam di tubuh keponakannya, jemarinya bekerja cepat.
"Jan ...! Ayu tenan kowe, Tin!" serunya dengan menyisir rambut Tini. "Habis luluran tambah kinclong kamu."
Wajah Tini bersemu. "Opo lah, Mbok De. Wong cuma babu. Nyonya Arini itu yang ayu tenan."
"Kamu harus belajar nata rambut yang rapi." Tumini menyematkan tusuk konde kuningan. "Nyonya suka yang rapi, wangi, cantik. Pokoknya di sini itu aturannya seperti di rumah Ibunya Tuan Ario. Seperti ningrat Jawa kuno."
‘Kenapa harus cantik untuk jadi pembantu?’ batin Tini.
"Nah, sudah. Cepat ke ruang tamu. Nyonya sudah menunggu."
"Ya, suwun, Mbok De."
Tini kembali menyusuri koridor menuju ruang tamu, kain jarik yang terlalu ketat melilit kini membatasi jangkauan kakinya. Jarak ke depan terasa lebih panjang dari sebelumnya,
Di ruang tamu, Nyonya Arini duduk anggun. Tangannya membolak-balik buku kulit cokelat tua.
"Duduk …!" perintahnya tanpa mengalihkan pandangan dari buku.
Dengan susah payah, Tini duduk bersimpuh di lantai tegel dingin. Stagen dan kain jarik yang terlalu ketat membuatnya mulai tak nyaman duduk berlama-lama.
Waktu berlalu. Lima menit. Sepuluh. Dua puluh.
Nyonya Arini terus mencorat-coret bukunya, sesekali bergumam. Suaranya mendesis, terdengar aneh di telinga Tini.
"Kamu lahir hari apa?"
Suara serak Nyonya Arini memecah keheningan. Ia menutup bukunya, matanya yang sendu menatap lurus ke Tini.
"Jum'at, Nyonya ...."
"Jum'at apa?"
Tini mengangkat wajah, bingung.
"Kamu lahir Jum'at apa? Weton lahir kamu yang saya maksud."