Ibu Susu untuk Bayi Gaib

Hayisa Aaroon
Chapter #6

6. Masa Lalu Tini

Tapi Tini tidak punya kemewahan untuk peduli dengan drama rumah tangga orang kaya. Yang dia butuhkan hanyalah bekerja dan mendapat upah. Itu saja.

Dengan tenang, Tini mengambil baskom enamel putih bergaris hijau dari meja. Di sebelahnya ada handuk bersih dan kotak kayu kecil berisi obat merah, kapas, dan perban—tersedia lengkap, seolah kejadian seperti ini sudah biasa.

‘Berapa kali Tuan Ario melukai dirinya sendiri?’ pikirnya.

Tini mendekati tuannya, berlutut dengan posisi bersimpuh—jari kaki menumpu di lantai, pantat di atas tumit. Gerakan yang sopan, terlatih.

"Ngampunten Tuan, biar saya bersihkan lukanya."

Suaranya pelan, netral. Seolah tidak pernah menyaksikan drama mengerikan tadi.

Tuan Ario menoleh, matanya menyipit heran. Pelayan baru ini aneh. Wajahnya tetap datar, tidak ada ketakutan yang biasa dia lihat di mata pembantu-pembantu sebelumnya.

"Sudah, kamu pergi saja!" desaknya. "Kenapa masih di sini? Kamu tidak takut?"

Tini tidak menjawab langsung. Ia mencelupkan handuk kecil ke baskom, memerasnya, lalu mulai menyeka darah yang mengering di sisi wajah Tuan Ario. Gerakannya telaten, tidak terburu-buru.

"Kalau pulang sekarang," akhirnya ia berkata dengan nada lelah, "bukan hanya saya yang mati, Tuan. Ibu dan anak saya juga mati kelaparan."

Tangannya terus bekerja, membersihkan darah dengan hati-hati.

"Di rumah sudah tidak ada apa-apa untuk dimakan."

Tuan Ario terdiam. Matanya menatap perempuan cantik berkulit kuning langsat ini dengan tatapan heran.

"Arini punya setan," bisiknya, mencoba lagi. "Kamu tidak lihat Jumiati hilang?"

Tini memeras handuk. Air dalam baskom mulai berwarna kemerahan. Ia menghela napas panjang, seperti orang yang sudah terlalu lelah untuk takut.

"Lebih mengerikan kelaparan daripada setan, Tuan."

Kata-kata itu keluar dengan santai, tanpa emosi berlebih. Hanya kenyataan pahit yang diucapkan dengan jujur.

"Tuan tidak pernah kelaparan, jadi Tuan tidak tahu." Matanya sekilas melirik ke arah pintu. "Bubur saja dibuang-buang."

Tuan Ario tercenung.

Usahanya menakut-nakuti perempuan ini agar pergi justru disambut dengan ketidakpedulian. Bagaimana mungkin ada orang yang tidak takut setan? 

Tapi melihat wajah lelah Tini, Tuan Ario mulai mengerti. Di luar sana setengah mati orang berjuang untuk hidup, tapi di sini, nyaris setiap hari ia mencoba mengakhiri hidup. Kenyataan itu menyentilnya.

Ada setan yang lebih mengerikan dari hantu—kemiskinan yang mencekik leher setiap hari.

"Ngapunten Tuan, saya gantikan bajunya," ucap Tini setelah mengobati luka di pelipis Tuan Ario.

Tini sedikit condong ke depan, masih dalam posisi bersimpuh. Anehnya, Tuan Ario tidak memberontak seperti saat diurus Tumini. 

Lihat selengkapnya