Ibu Susu untuk Bayi Gaib

Hayisa Aaroon
Chapter #7

7. Cerita Tuan Ario

Ario mengangguk, untuk pertama kalinya terlihat malu dengan kondisinya.

Tini kembali ke kamar mandi, mengambil baskom baru berisi air hangat dan botol shampo Sunsilk. 

Ia mengatur bantal hingga kepala Tuan Ario bisa berbaring di tepi tempat tidur, sedikit menggantung.

"Permisi Tuan."

Dengan hati-hati, ia meletakkan baskom di lantai tepat di bawah kepala tuannya. Air hangat dituang perlahan, membasahi rambut yang kusut. Shampoo berbau mint menyegarkan udara pengap.

Jari-jari Tini mulai memijat kulit kepala dengan lembut. Gerakan memutar yang terlatih, menekan titik-titik yang tepat, keterampilan yang didapatnya dari mengurus jompo di keluarga kaya Jakarta. 

Tuan Ario menghela napas panjang, tubuhnya rileks untuk pertama kalinya dalam berminggu-minggu.

Dari posisi ini, Ario bisa melihat wajah Tini dengan jelas. Perempuan itu masih sangat muda—mungkin baru 19 atau 20 tahun. Kulitnya kuning langsat. 

Bibirnya penuh, hidungnya mancung sempurna. Rambut hitamnya yang disanggul rapi memperlihatkan leher jenjang.

‘Cantik, pikir Ario. Terlalu cantik untuk nasib seburuk ini.’

"Apa airnya terlalu dingin, Tuan?"

"Pas. Enak sekali."

Tini tersenyum tipis, terus memijat sambil membilas. Busa putih bercampur kotoran mengalir ke baskom. Ia mengulangi proses ini dua kali, hingga rambut Tuan Ario bersih dan wangi.

Dengan handuk terry yang tebal, ia mengeringkan rambut tuannya, lalu membantunya duduk kembali. Dari lemari, ia mengambil kaos putih katun yang lembut.

"Permisi Tuan."

Dengan telaten, ia membantu Tuan Ario mengenakan kaos, merapikan kerah, memastikan nyaman di badan. Kemudian membantunya bersandar ke tumpukan bantal tinggi.

Tini mundur selangkah, memperhatikan hasil kerjanya. Tanpa sadar, ia tersenyum.

"Tuan tampan sekali kalau bersih begini."

Kata-kata polos itu keluar begitu saja. Wajah Tini langsung tegang, sadar telah lancang.

Tapi Tuan Ario justru tertawa. Tawa yang tulus, bukan getir seperti sebelumnya. Entah kapan terakhir kali ia tertawa seperti ini.

"Sudah lama tidak ada yang bilang begitu," ucapnya masih dengan sisa senyum. "Bahkan Arini tidak pernah."

Tini menunduk malu, sibuk membereskan handuk dan baskom.

"Tuan lapar? Saya ambilkan makanan dari dapur?"

"Ya. Terima kasih, Tin."

Tini bergegas keluar, membawa baskom dan handuk kotor. Langkahnya terhenti di dapur yang riuh dengan persiapan membuat kue untuk acara besok.

Nyonya Arini berdiri di ambang pintu dapur, mengawasi. Tatapannya beralih pada Tini.

"Bagaimana?" tanyanya datar.

"Tuan Ario sudah bersih, Nyonya. Sekarang mau makan."

Lihat selengkapnya