Ibu Susu untuk Bayi Gaib

Hayisa Aaroon
Chapter #8

8. Pesan Nyonya Arini

"Ohhh ...." Suaranya manis dibuat-buat. "Jadi maunya diurus pembantu muda yang cantik? Baru mau ganti baju? Bahkan mau makan sendiri?"

Ia melirik Tini yang masih membungkuk, bibirnya menyunggingkan senyum kejam.

"Laki-laki di mana-mana sama saja. Maunya yang lebih muda, lebih cantik."

Nyonya Arini tertawa. Tawa yang membuat bulu roma Tini berdiri.

"Laki-laki kaya, tampan?" Ia melangkah mendekati Ario, membungkuk hingga wajah mereka sejajar. "Tapi kalau lumpuh, bisa apa? Apa gunanya dipuji tampan?"

Ario membuang muka dengan mata penuh kebencian. Rahangnya mengeras.

"Mana calon istri Kang Mas yang dulu?" Nyonya Arini menegakkan badan, tangannya berkacak pinggang. "Oh ya, dia sudah menikah dengan laki-laki lain yang normal. Meninggalkan Kang Mas di sini yang hanya bisa menghabiskan uang untuk berobat."

Ia menggeleng dengan gerakan dramatis.

"Sudah, tidak usah berobat lagi. Percuma. Kang Mas lumpuh itu karma. Hukuman untuk laki-laki yang tidak bisa menerima istrinya mandul."

Tangan Nyonya Arini mengelus perutnya yang membuncit.

"Lihat saya sekarang. Kang Mas lumpuh saja, saya masih setia. Bahkan bisa hamil. Ini ganjaran untuk kesabaran saya. Kang Mas saja yang dulu tidak sabaran, memanfaatkan keadaan untuk alasan menikah lagi."

Pandangannya beralih ke Tini yang serba salah—ingin pergi tapi tidak berani tanpa izin.

"Tini Mengurus Kang Mas cuma sementara. Jangan senang dulu. Saya akan carikan pembantu paling jelek untuk Kang Mas. Lebih jelek dari Jumiati yang kurang ajar itu."

Nyonya Arini mendekati Tini, mengangkat dagunya dengan jari telunjuk.

"Tini ini ...." Senyumnya semakin mengerikan. "Ibu susu untuk anak kita. Jodoh untuk anak dalam perut saya."

Jodoh? Tini tidak mengerti, tapi cara Nyonya Arini mengatakannya membuat sekujur kulitnya meremang.

"Jadi Kang Mas jangan bersenang hati dulu!"

Dengan gerakan anggun, Nyonya Arini membalik badan. "Ayo, Tin! Ikut saya. Jam makan siang."

Tini meraih pakaian kotor dan nampan berisi piring kotor sebelum mengangguk sopan ke arah Tuan Ario—pria itu menatapnya dengan mata yang mengatakan: Lari. Selagi bisa.

Tapi Tini tetap mengikuti langkah Nyonya Arini keluar kamar.

Tiba di dapur, mata Tini membulat sempurna memandang meja makan panjang dari kayu jati yang dipenuhi hidangan. 

“Sudah sana cepat makan …!” perintah Nyonya Arini. “Makan yang banyak, biar nanti pas bayi saya lahir, kamu sudah gemuk.”

Tapi Tini justru membeku. Di hadapannya, bukan sekadar nasi putih dan sayur bening yang biasa di dapatnya di rumah majikan sebelumnya—ada opor ayam kuning berminyak, telur pindang mengkilap cokelat, oseng kangkung dengan taburan bawang putih goreng, makanan mewah yang hanya bisa Tini nikmati setahun sekali saat Lebaran di rumah majikan.

Lihat selengkapnya