IBU TANPA RAGA

Yusuf Mahessa Dewo Pasiro
Chapter #2

Prolog

Dia lahir prematur, bayi laki-laki itu tidak tahu bahwa dirinya memiliki naluri kebinatangan, teramat liar, ia juga punya insting tajam terbebat takdir ilahi. Si bayi butuh pembimbing. Kini ia terlelap di bawah rumpun bambu kuning, deretan batang bambu berdiri tegak bagai tombak-tombak keperkasaan, rumpun bambu kuning itu satu-satunya yang tersisa di pedukuhan tersebut. Sang kakek membopong cucunya dengan selendang kasih sayang, si bayi tidur pulas di depan dada si kakek. Mungkin kelak sang kakek akan menjadi pembimbingnya dengan memberi petuah-petuah kehidupan. 

Di sebelah selatan rumpun bambu kuning, terpisah parit atau kali berarus kecil, terbentang area persawahan luas. Padi-padi mulai menguning bagai sepuhan emas, seakan tercipta dari hamparan mistik cinta Dewi Sri, tiupan bayu siang hari menggeleser sepoi-sepoi membelai pipi si bayi dan membuat pohon-pohon padi di sawah menari bagai penari Dolalak, rancak, anggun, meliuk-liuk. Mungkinkah padi-padi itu akan menjadi gurunya? Atau justru angin? Sang angin memang mampu melerai penat, tetapi bisa mendadak mengamuk, memorak-porandakan seisi jagat. Mahendra masih berusia enam bulan pascalahir—belum tahu akan meniru tindakan atau ucapan siapa. Sang kakek menyenandungkan tembang dari bibir kerutnya dengan suara sengau, nyanyian dengan lirik berbahasa Jawa.

Lelo-lelo-ledung

Cah bagus turu awan

Cepet gede

Lihat selengkapnya