IBU TANPA RAGA

Yusuf Mahessa Dewo Pasiro
Chapter #4

Firasat

Untuk Hesti

Salam—

Surat elektronik ini kutulis setelah pemakaman ibu kita pada sore hari pukul 17.00, hari Jumat. Kau pasti tak akan melupakan momen itu. Meski ia telah mati, bagiku ia tetap hidup. Karena aku adalah anaknya—sebagai anak lelaki, anak pertama, buah hatinya. Aku mencintai dia lebih dari apa pun di dunia ini. Pernahkah kau kehilangan arah? Menyalahkan keadaan, membenci takdir, bahkan menghardik dan mencaci Tuhanmu? Pernah? Kau tidak salah, Tuhan sayang padamu.

“Semua jadi berbeda. Setelah kepergian ibu. Hanya tersisa foto muda ibu, foto lama, beda zaman, sebuah keabadian yang terekam di dalam foto-foto itu menjadi harta paling berharga bagiku. Ingin segera aku buat versi digital, disimpan di penyimpanan akun Google Drive—agar awet.”

Kau bisa percaya sepenuhnya atau meragukan tulisanku. Aku tak tahu harus bagaimana untuk beberapa waktu mendatang, saat itu aku hanya berdiam diri cukup lama, melamun, pikiranku kosong. Ibu di sampingku ketika dia mengembuskan napas terakhir. Aku tak menuntut belas kasihanmu, karena kasihan adalah bentuk kesombongan tertinggi, jadi biarkan aku berbagi curahan hati melalui surat ini saja.

Aku ingin bicara tentang firasat, apakah manusia selalu mendapat firasat? Bila akan tertimpa musibah, atau kejadian buruk? Aku tak tahu cara kerja alam, tetapi alam seperti menyampaikan sesuatu. Apa kau tahu, malam hari sebelum kematian ibu, aku masih di rumah sakit menemaninya. Karena untuk menunggui di ruangan hanya boleh satu anggota keluarga saja, maka yang menginap malam itu adalah ayahku. Sedangkan, aku dan adik lelakiku memutuskan untuk pulang. Sebelum pulang, ibuku memeluk kami berdua, mencium pipi kanan dan pipi kiri kami berdua secara bergantin, memeluk erat kami. Ia bilang, ‘Kalau sudah di rumah, besok rumah ditata dan sampah dibersihkan semua, ya. Saat ibu pulang biar segar dan rapi.’ Itu ucapan beliau padaku dan adikku.

Kau tahu, kami tidak menyangka kalau itu seharusnya pertanda atau firasat, tetapi kami tidak peka, atau hanya menganggap biasa kejadian itu saat ibu kami tiba-tiba memeluk dan menciumi kami seperti bayi—seakan ia hendak pergi jauh, itu tak terbetik di dalam pikiran kami. Saat itu, setelah di rumah, sepulang dari rumah sakit, tengah malam aku tak bisa tidur, adikku tertidur lebih dahulu karena kelelahan. Jam menunjukkan pukul 00.15 WIB, aku ke kamar mandi, karena merasa ingin buang air kecil. Kau tahu apa yang kualami? Aku mendengar daun nangka terjatuh, kau pasti paham, bila malam hari menuju dini hari amatlah sepi, tenang, senyap, amat anggun. Suara daun nangka saja terdengar sangat keras jatuhnya, menimpa asbes atap kamar mandi. Aku yang baru keluar dari kamar mandi dan mau masuk rumah—kebetulan kamar mandi kami ada di luar rumah, dibuat kaget dengan pikiran sendiri.

Kau tahu apa yang terlintas di pikiranku saat itu? Apa yang kubayangkan? Mendadak sontak setelah mendengar sehelai daun nangka jatuh menimpa asbes, langsung terlintas bayangan sebuah pohon gugur, tak ada daun hanya ranting dan daun terakhir dari pohon gersang itu baru saja jatuh, seperti suara selembar daun nangka yang barusan kudengar menghantam atap kamar mandi. Ini mungkin firasat, tetapi setelah itu aku mengabaikan dan mencoba memejamkan mata untuk istirahat.

Pagi harinya aku ingin mencuci baju, sudah aku rendam dengan air dan detergen, tetapi rasanya ada sesuatu mengganjal di dada, ada hawa aneh, keadaan linglung, dan aku tak tenang. Aku ada acara seminar di kampus saat itu, tetapi memutuskan untuk tidak berangkat, aku juga tidak jadi mencuci dan langsung mandi lantas bersiap menuju rumah sakit, karena satu arah dengan kampus. Aku naik angkot, motor aku titipkan di penitipan motor sebab motorku sudah mati pajak—daripada kena tilang polisi. Bau oli samping, pengap, keramaian jalanan, berdesak-desakan di angkutan umum, sudah menjadi hal biasa bagiku. Aku turun di depan rumah sakit tepat pukul 09.30. Aku ingat betul, karena mengecek jam di layar gawai. Sesampai di kamar tempat ibuku dirawat, aku duduk meletakkan tas. Kami berbincang sebentar.

“Sudah sarapan belum? Tadi bapak membelikan ibu nasi goreng, tapi tidak habis. Itu masih ada, kamu makan saja.” Kata ibuku.

Lihat selengkapnya