IBU TANPA RAGA

Yusuf Mahessa Dewo Pasiro
Chapter #5

Pertanyaan di Depan Cermin

Hai, Mahendra

Ini balasan surat untukmu. Entah bagaimana mendefinisikan kebahagiaan. Aku tidak tahu. Sudah berapa hari, ya? Oh, baru sehari setelah kematian ibu kita. Badanmu besar, tegap, tak apa kalau misal dibilang kelebihan berat badan, pria berbadan besar jangan bersedih, ya. Eh, tidak ada salahnya, kau boleh berduka—itu hal wajar. Kematian, perlu dirayakan atau harus terus berselimut kesedihan? Agaknya kematian memang membawa berbagai dampak di kehidupan kita—untuk dirayakan maupun direnungkan, tidak apa, sebab itu jalan menuju keabadian. Ditinggal orang terkasih memang berat rasanya. Ada saat-saat untuk merenung, tertawa di tempat biasa kita menangis, menangis di tempat biasa kita tertawa. Aku tahu ada rasa sedih mengganjal di hatimu. Bagaimana perasaan Aji—adik lelakimu? Saat dia melihat ambulans berhenti di depan bengkel motor tempat dia bekerja, dan kau, sebagai kakaknya turun dari ambulans, mengabarkan bahwa ibu sudah tidak ada. “Pulang dahulu, jangan kerja, ibu baru meninggal,” kau bilang itu padanya, kan?

Aji—pria berhidung bangir, berambut keriting nyaris kribo, badannya lebih tinggi darimu, dia adikmu—tetapi sering disalahartikan—banyak orang mengira dia kakakmu karena kau lebih pendek darinya. Saat itu, dia mungkin kaget untuk sesaat, terlihat biasa, mencoba mencerna seperti dirimu, apakah itu kenyataan atau hanya mimpi—tentu kalian berharap itu hanya mimpi saja.

“Ah? Yang benar!?” ucap adikmu dengan raut wajah panik setengah tidak percaya.

Bagaimana aku tahu, tentu saja karena kita satu tubuh, kita adalah satu, aku dan kau adalah satu. Mahendra sahabatku, kau tenang saja, Aji pasti kuat. Aku ingat saat ibumu masuk liang lahat, ditimbun tanah, setelah tanah itu rapat, adikmu menangis keras, tangisannya pecah, meraung-raung, ingin ikut ibumu yang sudah di dalam tanah—terkubur rapat. Kau hanya bisa menahan tubuh adikmu, kau menahan tangismu sendiri, kau ingin jadi kakak lelaki kuat, mencoba menahannya sendiri, tidak bercerita bagaimana terlukanya dirimu—tentu saja kau dan dia sama-sama terluka.

Lihat selengkapnya