IBU TANPA RAGA

Yusuf Mahessa Dewo Pasiro
Chapter #6

Trauma

Terima kasih, Hesti.

Kau selalu ada dan menyimak apa-apa saja keluh kesahku. Aku menatap cermin, melihat diriku sendiri, melihatmu tentunya. Kau dan aku saling tatap. Setelah kematian ibu kita, aku akan menghitung jumlah hari ini sampai kapan pun. Dari mulai hari di mana waktu terasa berhenti, istana runtuh, seakan-akan aku kehilangan gairah hidup, separuh jiwaku mencolot meninggalkan raga. Aku berbicara di depan cermin besar, di samping rak buku, bicara padamu.

“Kau tahu impianku?”

“Tentu. Kau ingin jadi penulis profesional.” Sahutmu tenang.

Aku menarik napas dalam-dalam. “Ini hari kedua, nanti sore ada tahlilan, setiap hari sampai tujuh hari setelah kematian ibu.”

“Ya. Itu tradisi, kan?”

“Benar. Omong-omong, aku merasa ingin berhenti menulis.”

“Mengapa kau ingin berhenti menulis?”

“Terasa seperti tak ada lagi tujuan dalam hidup ini. Awalnya aku menulis hanya untuk berbagi kebaikan, juga untuk diri sendiri, belum pernah memublikasikan tulisan di mana pun. Namun berkat ibu, aku berani melanjutkan impian itu. Jati diriku ada di sini, inilah aku—dengan tulisan absurd, berbelit, dan aneh. Kini setelah ibu pergi, impian itu terasa menjauh, tinggal kenangan semata.”

“Kau lelah?”

Lihat selengkapnya