IBU TANPA RAGA

Yusuf Mahessa Dewo Pasiro
Chapter #8

Nasihat Ibu

Salam Damai, Hesti.

Kali ini akan ada cerita lebih berat, perihal perdebatan dengan ibu, ketika aku masih berusia sembilan belas tahun, aku ditentang ibu untuk jangan jadi penulis. Jadilah pendidik, atau dosen.

“Profesor adalah pembuang umur tak punya ambisi, bagiku begitu. Meski tidak semua.” Aku bilang begitu terhadap ibuku, dengan tetap cari aman menyisipkan ucapan meski tidak semua. “Sedangkan guru adalah pekerjaan bagi orang tidak punya keterampilan lain dan terpaksa mengajar, menyita waktu anak didik mereka, memberi tugas tak berperikemanusiaan. Meski tidak semua, memang banyak guru punya keterampilan lain di bidang seni dan sebagainya. Lagi pula penulis atau pun pengarang adalah impian orang sepertiku yang tumbuh tanpa pernah didengar dan kerap disepelekan.”

“Kau bisa jadi guru besar.” Ujar ibuku.

“Aku juga bisa menjadi penulis besar. Penulis bisa menjadi guru besar dan semua karakter akan ada dalam dirinya.” Sahutku tegas.

“Setidaknya cari pekerjaan lain untuk mendampingi menulis, menulis sebagai pengisi waktu luang saja.”

“Tidak. Aku ingin mencurahkan segalanya untuk menulis. Sepenuh hati.”

Seakan tidak ada restu dari ibu, tetapi dia mendoakan yang terbaik bagiku. Setidaknya ada keyakinan tersebut selama ini, dan menjadi pemantik dalam perjalanan kepengaranganku. Dia juga ingin membaca naskah pertamaku bila sudah terbit utuh menjadi sebuah buku.

Amar—pria gemuk, berambut lurus seperti paku, tiba-tiba berkata padaku ketika kami memancing di kali pinggir sawah. “Kau sangat idealis.” Ujarnya.

“Biar saja aku terlalu idealis, memang, tetapi pekerjaan kecil-kecilan juga aku lakukan. Menjaga warnet, berdagang di angkringan, bahkan aku mencoba melakukan kegiatan mengajar, memberi privat pada anak-anak. Pengetahuan ini tak berhenti padaku semata, ketika kau memutuskan untuk tidak mengajar, maka menulislah! Barangkali ini penebusan dosa terbaik, itu yang kupikirkan ketika menyangkal semua saran dari ibuku untuk mencari pekerjaan lain.”

“Aku saja mengajar juga karena desakan orang tuaku. Sebetulnya menjadi guru bukan cita-citaku. Kau termasuk berani, bebas, dan liar, menentukan dirimu ingin jadi apa di masa kini dan masa depan saja sudah begitu hebat. Kau pengarang, aku akan membeli bukumu kelak kalau kau sudah menerbitkan satu novel baru.”

“Pengarang, satu kata yang membosankan, bisa jadi dia hanya menghabiskan waktu untuk melamun saja, sama seperti ucapanku pada ibu—perihal pendidik cuma membuang usia—ironis sekali, pengarang juga bisa dianggap pekerjaan sia-sia, buang-buang waktu, miskin, tak berpenghasilan besar—kebanyakan pengarang dipandang begitu. Menulis di meja tidak perlu riset. Oh, salah. Pengarang bisa menjadi profesor, guru besar, peneliti ilmiah, dokter, perampok, pejabat, bahkan orang gila.”

“Memang gila dan cerdas itu beda tipis, kan? Ungkapan itu sudah menjamur dan entah siapa yang mencetuskannya.” Ucap Amar.

Lihat selengkapnya