Hari ketujuh, tahlilan dan kenduri digelar di rumah duka. Mahendra, Aji, dan sang ayah ikut berdoa. Si paman dari Kebumen dan Ambarawa ikut datang dan mengirimkan doa bersama para tetangga. Kegaduhan, kerisauan, hanya dalam pikiran mereka masing-masing. Mahendra membayangkan dirinya sedang berada di puncak tertinggi gunung, kehabisan napas, anoksia, kedinginan, ia membeku. Termenung di hadapan kemelun dupa Arab, teriring lantunan doa-doa para tetangga.
Remuk, pasrah, bagaimana ke depannya? Ia bertanya-tanya dalam hati. Gaduh seperti genderang perang di dalam dada, kemelut jiwanya tak tertahankan. Sungguh, tahun ini adalah tahun terburuk dalam sejarah hidupnya. Selaras dengan berbagai hal rumit terus menghampiri. Aku ini kenapa? Setidaknya hanya itu di dalam pikiran—ia tak tahu harus apa.
Setelah acara selesai, ia membuka gawai, menulis sesuatu. Hari ke tujuh setelah kematian ibu. Ia mengirimkan surat untuk seseorang melalui surel, kemudian ia kembali melamun, menatap jauh ke depan, dari tempat duduknya di kursi depan rumah. Tak ada yang datang lagi, ucapan bela sungkawa sudah berhenti jauh hari setelah pemakaman. Ibunya tak muncul, ia menatap pelataran rumah, menoleh ke arah barat, jalan desa yang sering dilalui ibunya sepulang kerja, si ibu akan mengayuh sepeda, masuk halaman rumah, lantas memarkir sepeda di bawah pohon rambutan sebelah barat rumah. Sang ibu tak muncul, tidak akan mungkin, hanya ada induk ayam bersama kelima anak-anaknya, mengais-ngais tanah, paruh mereka runcing menukik menyantap makanan dari tanah dan tumpukan daun kering.
Hari berlalu begitu saja, ibunya tak mungkin datang—bangkit dari kubur, tidak. Hanya ada kekosongan selama berhari-hari ke depan, selama beberapa waktu tak tentu. Ia memprediksi jika hidupnya akan lebih bergelombang, menemui jalan makin terjal, ia merasa tak berarti, belum lagi ditambah berbagai rintangan penuh kejutan di masa mendatang.
Sudah malam, kini ia menarik selimut, telentang menatap awang-awang, hendak tidur. Namun tak bisa langsung terlelap. Mahendra berharap akan bertemu sang ibu di dalam mimpi—butuh waktu lama hingga ia terlelap, tidak bermimpi apa-apa. Ia hanya tidur sebentar, sekitar dua puluh menit. Suasana begitu tenang, seperti malam-malam biasa, tak ada hal membanggakan. Mahendra kini terjaga lagi, lantas mendesah, ia tengkurap, telentang lagi, miring ke kiri, miring ke kanan, bergelindingan sampai tepi dipan. Waktu terus berlalu, hingga nyaris subuh. Insomnia, sekarang benar-benar tak akan bisa tidur sampai pagi.
Seperti Arjuna culun, kehilangan semangat, tak punya nyali masuk medan perang. Namun, semangatnya mendadak membuncah, bergolak galak, ia menulis lagi di surel, melanjutkan pesan elektronik tadi yang belum terkirim dan masih ada dalam draf. Mahendra fokus untuk beberapa saat di tengah keheningan dini hari itu. Memegang gawai sambil tiduran, wajahnya terlihat menyala karena paparan cahaya dari layar gawai.
“Kau siapa?”