IBU TANPA RAGA

Yusuf Mahessa Dewo Pasiro
Chapter #11

Mengobati Hati

Rupanya kehilangan terbesar bagi anak laki-laki adalah kehilangan sosok ibu. Dunianya jadi berantakan, seakan berakhir karena ibu telah mati. Jauh di dalam relung hati Mahendra, ia tak ingin terus tersiksa dengan perasaan parasit itu. Menggeroti jiwa, mengikis mental seperti belatung memakan bangkai. Mahendra mencoba menelaah banyak hal, mencari-cari arti hidupnya. Berbagai metode ia lakukan untuk mengatasi kesepian. Berdoa, menyibukkan diri, berkegiatan, dan sampai pada tahap paling kelam dalam hidup, ia menutup akses dari banyak hal, menutup diri, mengurung diri di kamar.

Aku sengaja fokus pada diri sendiri, menulis untuk mengobati luka hati. Ingin menggapai satu-satu impianku, menerbitkan buku, menjadi penulis profesional. Hal seperti itu mungkin akan terlihat sebagai pembelaan semata atau bentuk perlindungan diriku agar tidak tersakiti atau menyakiti.

Saat ini memang ada dua buku telah terbit, karyaku sendiri. Satu novela, tidak begitu penting, tidak terkenal, dan satu antologi cerpen karyaku—hanya terbit digital serta sepi pembaca. Rasanya aku telah ditampar karya sendiri, dihina, dilecehkan oleh karya sendiri karena tak ada pembaca—tapi tak masalah, aku tetap menulis, tanpa mengharap apa-apa, sebab ini kujadikan sebagai obat. Berusaha tidak memikirkan apa pun selain menulis untuk mengobati luka hati. Meski kau tahu, aku sedang dijebloskan dalam jerjak besi—dikurung ketakutan dan kesedihan.

Bukan berdalih, ia memang mengurung diri, menjadikan menulis sebagai pekerjaan tetapnya. Dia bilang di depan cermin besar, bahwa penulis biasanya ribut dengan diri sendiri, penulis berambut awut-awutan—gondrong, lupa mencukur kumis dan jenggot, mungkin sengaja dibiarkan tak terurus. Atau biasanya berkacamata, berwajah kusam, badan bau kecut, jarang mandi, ia ribut dengan isi kepala yang ramai, marah pada banyak hal, karya-karyanya lahir dari ketidaksempurnaan, kondisi tidak baik-baik saja di sekitar bahkan dalam dirinya sendiri. Itu penulis, dia bertanya-tanya apakah menulis memang jalan satu-satunya untuk mengobati diri.

Namun, ia pernah sampai pada titik terjenuh, ingin membuat tangannya buntung, ingin menabrakkan diri ke kereta api. Tepat pada 2020, ia bertemu dengan wanita cantik, lebih cantik dari mantan kekasihnya saat SMA, dari dahulu dia memang flamboyan, banyak wanita kepincut dan mau berkencan dengan Mahendra. Meski tak jarang kebanyakan hanya sebatas penasaran saja di permukaan, mengincar statusnya sebagai sosok penulis ataupun mengira dia banyak duit untuk bersenang-senang.

“Hesti. Saat ini aku jatuh cinta lagi, sepertinya dia seorang malaikat baik hati, atau dewi penuh welas asih dari surgaloka.” Ucap Mahendra.

“Siapa dia?” Sahut Hesti di dalam cermin.

“Namanya tak kusebutkan di sini, tetapi panggil saja dia Nona Misterius. Aku jatuh cinta ketika melihat tatap matanya yang indah, bola matanya besar, ia berhidung mancung, perempuan itu memang pendek, tetapi dia lucu, menggemaskan. Kau jangan tertawa, aku memang jatuh hati ketika melihat wajah dan tatap matanya. Aku bahkan pernah mengencani wanita hanya gara-gara dia berhidung mancung dan punya andeng-andeng gede di wajah, bahkan ada juga yang kukencani sebab dia berambut panjang sampai mata kaki. Tolol memang diriku, kau boleh menilaiku apa saja.”

“Ya. Tak masalah. Lagi pula banyak cinta berasal dari pandangan, kan? Kau bebas menentukan ingin menyukai siapa saja. Seperti apa sifat Nona Misterius ini? Bagaimana pertemuan kalian?”

“Dia menatapku, aku balas menatapnya, di tempat fotokopi, ketika aku sibuk mengurus berkas laporan kuliah perihal magang di SMA. Tahun 2020 silam, aku bertatap muka langsung dengan dia, cantik. Saat itu, sehabis magang aku ingin menabrakkan diri ke kereta api. Karena sebelum itu ada kejadian orang bunuh diri di perlintasan kereta api dekat rumahku. Seorang pria paruh baya, meninggalkan motor di samping rel, lantas menabrakkan diri ke kereta yang melintas saat subuh. Tubuhnya tercerai berai. Aku ingin mengikuti jejak pria itu. Namun, Nona Misterius seolah dikirim untuk menyelamatkan diriku, ada getaran kuat di dadaku, aku ingin mengenal gadis itu. Kau tahu? Ada aplikasi bernama Instagram, aku mengikuti akun miliknya, dan dia juga mengikuti aku, cukup lama kami hanya saling melihat story Instagram, tanpa bersapa. Barulah saat ia mengunggah video, ia membaca puisi, suaranya begitu merdu. Aku langsung mengirimkan pesan di Instagram kepadanya, dan dia merespons diriku, hingga diriku meminta nomor WhatsApp miliknya, kami cukup sering berbalas pesan.”

“Kau mengabaikan diriku dengan berbalas pesan dengannya?”

Lihat selengkapnya