—Kau ingin bermain musik, alat musik drum?
Iya, itu salah satu cara terbaik untuk mengisi waktu, memberi asupan pada jiwa sepi dan terluka ini. Bayangkan, kau adalah pemain drum, menggebuk drum—tetapi kau menggebuk ansietas, OCD, depresi, kecemasan berlebih, dan menggebuk segala keresahan. Menyalurkan bergumpal-gumpal kemarahan dan emosimu—memecah belahnya. Apa kau tahu? Aku ini memang bisa dibilang perfeksionis, kau sendiri bilang begitu. Memang, hal tak beraturan, tidak rapi, cukup membuat kesal. Kau bayangkan, meja kerjamu diacak-acak tamu tidak bertata krama, kursi jadi geser, meja miring, buku bacaan di meja berantakan, tempat bolpoin ambruk. Seperti kapal pecah membuat sakit mata.
Seperti halnya dalam menulis buku, kau tahu aku suka berlama-lama dalam menyunting. Tidak boleh ada salah ketik, atau tidak boleh berantakan, semua harus sesuai KBBI, aku tidak suka menggunakan bahasa gaul, justru suka menggunakan kata-kata baku, terkadang formal sehingga terkesan kaku. Sebab bagiku, membaca bahasa gaul, walaupun itu kalimat percakapan, membuatku terengah-engah, ngos-ngosan, lelah sendiri. Sama halnya dengan bermain drum, menggebuk alat musik mati, maksudku perkusi, tentu butuh tempo, tenaga, dan ketukan yang tidak amburadul. Kau harus bermain sempurna, tidak menonjol di antara pemain bas dan gitar. Meski memang kau duduk di belakang, tetapi suara drum tetap paling keras. Ini, kau lihat fotoku saat bermain drum, kulampirkan di dalam surel ini. Ini sebulan setelah kematian ibuku, aku bermain musik lagi setelah empat tahun vakum.
—Bagaimana perkembangan tulisanmu, apakah masih ingin berhenti menulis?
Masih berjalan, meski aku selalu ingin mengakhiri, tetapi ada aura magis yang menarik diriku kembali untuk menulis. Tulislah, setidaknya ada cerita sebelum diriku mati. Kau tentu tahu, kisah orang-orang hebat, orang yang kau anggap depresi, memiliki cerita di balik kesuksesan dan cara-cara mereka menghadapi depresi. Setidaknya aku masih punya cara untuk menanggulangi kegilaan dalam ruhku. Banyak hal-hal untuk disyukuri, setidaknya itu pesan dari ibuku. Mencoba menerima banyak kekurangan, serta ... kau tahu, tentu saja ikhlas. Ya, kita tak bisa disebut ikhlas jika kita bilang ikhlas, jadi kalau ikhlas jangan ucapkan kau ikhlas dari mulutmu. Setidaknya diam saja, biarkan alam, kekuatan Tuhan bekerja. Aku pernah berlari sekuat tenaga, melewati area persawahan, berlari sejauh mungkin, hingga kaki sakit, dada sesak, napas tersengal-sengal.
Apa kau bertanya-tanya mengapa melakukan hal itu? Aku mencari inspirasi untuk tulisanku. Di alam ini, semua terbentang, tersedia, telah lengkap, hamparan cinta kasih dari Tuhan—meski aku pendosa. Aku duduk di tepi sungai, mendengar gemericik air mengalir, suara burung saling bersahut-sahutan, embusan bayu senja nan lembut, memandang ke arah para petani yang sibuk dengan lahan dan tanaman padi mereka. Jadi, tulisanku tetap berlanjut, hingga saat ini, detik ini, hari ke lima ratus dua setelah kematian ibu.
Rasanya baru kemarin, benar—waktu tak bisa kembali, sedetik lalu sudah hilang menjadi masa silam. Aku selesai mengetik surel ini untukmu juga sudah menjadi masa lalu, padahal baru sedetik, tidak terasa, tetapi begitu terlihat perbedaannya. Aku tidak bisa menghentikan waktu—secara keilmuan, tetapi aku bisa mengabadikannya di dalam tulisanku. Seperti sebuah foto, kau bisa menghentikan waktu dan wajah mudamu di dalam foto. Sungguh memilukan, ya. Manusia diberkahi otak dengan mengingat kenangan sedih. Kasihan otak ini. Begitulah, setidaknya ini caraku untuk menunda bunuh diri. Aku menulis.
—Berdoa dan beribadah, apakah itu membantu?