Dia masih berjibaku dengan kehidupannya dan kemelut dalam jiwa. Terus menghitung hari semenjak kematian ibunya. Ia menghitung akan bertahan sampai mana, adakah kebahagiaan lain untuk Mahendra. Pria itu tak tahu masa depan akan seperti apa, berkali-kali dipatahkan, berulang-ulang ingin menyerah.
“Bagaimana jika ternyata ibumu masih mengamati dirimu, membimbing dirimu, agar tetap berjalan dan tidak gelap mata.” Ucap Hesti di dalam cermin.
Suara motor lewat di jalan sebelah barat rumah, dengan knalpot amat berisik, keras, tetapi laju motor tidak cepat. Suara knalpot begitu sering membuat kepala mendidih, kita jadi ingin memancal kepala si pengendara. Bising, membuat emosi memuncak.
“Maksudmu? Ah, untuk itu ... aku tidak tahu, mungkin saja memang dia masih ada di dekatku.”
“Ya. Ibumu tanpa raganya memeluk dirimu, dari kejauhan di alam sana, kalian hanya terpisah alam berbeda saja. Namun jiwa ibumu tetap hidup.”
“Haha! Lucu sekali. Aku tidak percaya itu.”
“Lihatlah. Kau selalu selamat dari segala bahaya, dari rencana-rencana bunuh dirimu. Pasti semua berkat doa ibumu—semasa hidup dia juga pasti mendoakan kebaikan-kebaikan untuk dirimu.”
“Namun cahayaku sudah redup, hilang, sirna, padam. Api dian di diriku sudah mati—semenjak menghadiri pemakaman ibu.”
“Kau hebat bisa bertahan. Meski kau jarang didengar, tetapi kau berani menulis. Dan suara dari tulisanmu akan lebih kuat, lebih kencang, seperti tamparan, sebab dalam tulisan itu lebih kokoh dan berbobot. Itu kekuatan sejati, kau menyampaikan tidak mengucapkannya. Meski sekecil pita, kau bisa mengikat kuat dalam harapan. Kau bisa menggambarkan suatu masa, keadaanmu, atau dunia ini, kau membawa sebuah pesan, untuk peradaban jauh di masa depan. Kau menulis untuk mengirimkannya melalui lorong waktu menuju masa mendatang, untuk umat manusia di jauh hari sana.”
“Aku tidak hebat. Jika itu memang benar, doa ibukulah yang kuat dan hebat.”