Aroma alam—angin segar, terik mentari hangat tetapi sejuk, mereka melakukan perjalanan pada 5 Maret 2021 jam lima sore, mereka hendak berkemah di Sedahan, sebuah pantai berpasir putih di ujung Gunung Kidul Jogja, Mahendra bersama tiga sahabat menyewa alat perkemahan, menginap di pantai itu untuk semalam. Seperti impian yang pernah ditulis Mahendra setelah kematian ibunya. Bermusik, memancing ikan, menulis, semua sudah dijalani, datang ke acara konser, acara budaya-budaya dari Jepang, menonton wayang, atau tari Dolalak, sudah pernah ia coba semua.
Bagaimana manusia keluar dari penderitaan, dari krisis kehidupan seperempat abad mungkin sebutannya. Mereka banyak melakukan petualangan dan mencari pengalaman. Para pemuda itu mencari jati diri. Mereka sadar, bila telah berkeluarga akan sulit untuk bisa lagi seperti itu. Bersama sahabat, melakukan berbagai hal, kekonyolan, dan tertawa lepas. Melupakan segala masalah masing-masing. Muda tak akan kembali, maka lakukanlah hal menyenangkan itu, kunjungi tempat ibadah, tempat indah, berkemah, menikmati alam.
Seluruh alur kehidupan ini telah dirancang, seperti minyak akan menyatu dengan minyak, saling berkumpul. Dan mereka biasa menyebut sebagai lingkaran pertemanan, circle, close friends, dan sebagainya.
“Aku berkemah dengan temanku. Di Sedahan, sebuah pantai berpasir putih.” Ujar Mahendra di depan cermin.”
“Wah! Kau tentu menikmati momen itu.” Hesti tersenyum dari dalam cermin. Oh, dan Mahendra tak pernah menjelaskan bagaimana sosok Hesti ini, apakah dia berwajah bulat, oval, prisma, bermata indah, hidung mancung, atau pesek, ia tak pernah mendeskripsikan. Ia hanya menatap cermin, melihat pantulan bayangannya sendiri—dan memanggil bayangannya dengan sebutan Hesti.
“Ya. Aku bisa tertawa lepas dengan sahabatku. Sudah seperti saudara sendiri. Mereka teman dari SD dan teman saat SMP, juga menjadi teman saat kuliah. Tiga orang ini kuputuskan untuk menjadi orang terdekatku. Aku menyebut mereka orang asing tanpa ikatan darah tetapi menjadi saudara. Hubungan kami cukup unik. Sebut saja Ibnu, Hadi dan Jadmiko. Mereka adalah ketiga teman dekatku. Kami terkadang jauh, terpisah jarak, seperti jurang menganga. Kami jarang bicara, hanya tongkrong, bermain gitar, minum kopi bersama, atau sekadar menjajah angkringan di tepi jalan, mencari kuliner malam hari—ah, tentu makanan bernama Koyor, di Purworejo makanan ini amat terkenal. Buka jam 23.00, sekitar jam 23.30 sudah habis, ludes terjual. Di depan Pasar Baledono Purworejo, dijual oleh kakek-kakek. Kuliner ini sangat laris dan lezat. Kemudian jajanan pasar, clorot, kue lapis, getuk, gorengan, atau sebatas makan mi bersama di rumah, bakar-bakaran ikan, sosis, ataupun minum air kelapa muda bersama.
“Kami seperti saudara, terkadang menjadi asing, kembali lagi menjadi saudara. Kami dari berbagai latar berbeda, dengan berat masalah masing-masing. Hadi, dan Jadmiko, sudah tidak punya ayah, Ibnu adalah pria paling santai, tetapi pekerja keras, sebagai pembuat roti bolu, kue kering, ia benar-benar menikmati hidupnya—setidaknya itu yang ia tampilkan. Entah masalah berat apa yang kami derita, kami tidak pernah bercerita. Mereka-merekalah yang paling dekat denganku. Kurasa kami saling tahu banyak hal, memahami satu sama lain meski tanpa berucap. Meski mereka punya kehidupan sendiri, punya teman lain yang bukan temanku, aku juga punya teman lain, dan bukan teman mereka. Namun, kami sudah sering menghabiskan banyak waktu bersama.”
“Pertemanan kalian begitu menarik.”
“Ya. Jika kau sampai pada tahap tidak bicara, tetapi justru tergelak keras, terbahak-bahak, hanya karena kejadian kecil, kalian anggap lucu, dan mendadak tertawa keras bersama-sama. Kalian telah memiliki ikatan kuat yang tak terlihat mata. Kejadian ini terjadi saat dalam perjalanan menuju Pantai Sedahan untuk berkemah. Masih setengah perjalanan dari tempat tujuan, kami istirahat di sebuah minimarket, ada seorang ibu memanggil anak lelakinya dengan sebutan Mas di depan minimarket. Eh, justru Ibnu yang merespons, ia menyahut sembari menoleh. ‘Hah? Iya?’ ucap Ibnu lantas memasang wajah beloon. Kau tahu? Kami bertiga, aku, Hadi, Jadmiko, terkakah-kakah, mengakak amat keras di depan minimarket tersebut. Ibnu ikut tertular, tertawa keras karena kekonyolannya sendiri.”
“Ibnu terlalu fast respons. Asyik sekali, punya teman begitu. Kalian tak malu dan tak peduli dilihat orang sekitar?”
“Ya. Kami bodoh amat, tertawa lepas. Kami benar-benar menikmati momen itu. Dalam perjalanan menuju pantai, motor Ibnu yang dinaiki bersama Hadi, mengeluarkan percikan api di tikungan jalan, sebab mereka menikung ke kiri terlalu tajam sehingga standar motor menggesek aspal dan keluar percikan seperti kembang api. Jalan yang kami lalui berkelok-kelok, khas jalan pegunungan, dan dalam kondisi sudah malam. Kami sampai sekitar jam sebelas malam, mendirikan tenda untuk berkemah, tidak tidur, menikmati malam hari di tepi laut berpasir putih. Saat perjalanan pulang juga lebih gila. Jadmiko terlihat lesu karena semalaman tidak tidur, ia pucat pasi, wajahnya seperti vampir kekurangan darah. Kami berhenti di sebuah warung bakso, kami makan siang di sana, Jadmiko pesan bakso ditambah nasi. Setelah makan, dia langsung bergas-waras-ceria seperti baru gajian. Hahahahaha! Wajah pucatnya hilang, jadi segar dan ketawa-ketawa lagi. Ternyata hanya lapar. Kami lagi-lagi terbahak bersama dan melanjutkan perjalanan.