“Bagaimana kau mengatasi kegalauan atas kepergian ibumu? Dengan menulis? Ah, tentu saja kau akan melakukan itu. Bolehkah aku melihat tulisanmu, membacanya, untuk menjadi pembaca pertamamu.” Hesti mengirim surel tersebut. Dan langsung mendapat balasan dari Mahendra.
“Aku bisa melakukannya untukmu. Akan kukirimkan beberapa tulisanku. Kau bisa membacanya.”
“Dengan senang hati.”
“Baiklah. Aku punya tulisan perihal pria muda yang sedang jatuh cinta pada wanita yang sudah punya suami.”
“Kurasa itu kisah menarik—lekaslah kirimkan padaku, aku ingin membaca.”
Meski percakapan itu cukup gila, seperti membuang waktu. Namun, pembaca pertama Mahendra adalah Hesti—tak lain dan tak bukan adalah alter ego yang ia ciptakan sendiri.
Sepanjang ingatanku—banyak dari kami tidak lagi saling bertatap muka. Jarang bertemu, dan hanya mengisi hari-hari melalui gawai, surel, serta akun media sosial lain. Hiruk-pikuk dunia, juga ramainya isi kepala, sibuk dengan kegiatan dan pekerjaan dari balik layar—tanpa terjun ke lapangan, membuat kita terasing. Terlebih pengarang sepertiku—tetapi tidak, tentu saja aku pergi ke luar untuk menapaki banyak hal. Mencari sumber inspirasi untuk menulis—atau sekadar pergi ke pantai. Aku beberapa kali mewawancarai orang untuk keperluan tulisan yang sedang kugarap. Beberapa kuncen tempat keramat, ahli ekonomi, dan banyak orang—termasuk mahasiswa bahkan istri orang.
Aku pernah meminta pendapat pada istri seseorang—ia kukenal hanya melalui dunia maya. Namun wajahnya sangat cantik, dan aku terpesona setiap kali dia membalas pesanku. Awalnya aku meragukan perasaan ini—tak patut bila merusak kebahagiaan orang lain. Namun aku terlanjur mengutarakan kalau aku kepincut dengan dirinya. Wanita itu kaget, tetapi menanggapi dengan santai—ia berpendapat bahwa aku hanya bercanda, atau sedang melakukan riset untuk sebuah buku.
“Kau tahu namaku Ronald. Dan kau juga sudah membaca bukuku.”
“Benar. Namun aku punya anak, masih kecil baru beberapa bulan. Kau ingin mengajakku berselingkuh? Kau terus merayuku, aku jadi ingin terbang, terbuai. Pasti ini hanya akal-akalan untuk pekerjaanmu, kan?”
“Aku tidak mengada-ada, memang begitu faktanya—kau membuatku jatuh cinta. Aku ingin berkencan denganmu.”
“Kalau kita bertemu, kira-kira akan melakukan apa?”
“Kita bisa sewa penginapan.”