IBU TANPA RAGA

Yusuf Mahessa Dewo Pasiro
Chapter #18

Tedaksiti Ramalan Masa Depan

Kurungan ayam itu berisi bocah berusia setengah tahun. Biasanya tradisi itu memang dilakukan saat si bayi menuju usia enam atau tujuh bulan. Acara tujuh bulanan, acara tedaksiti, tradisi menapak tanah untuk pertama kali agar si bocah lekas dapat merangkak dan berjalan memijak tanah. Tradisi di Jawa ini sudah ada sejak dahulu, dan kini, bocah bernama Mahendra sedang melakukan ritual itu. Ia duduk tenang di dalam kurungan, di dalam kurungan itu tersedia perkakas, pernak-pernik keperluan ritual. Ada uang, buku, alat tulis, dan beras. Para tetangga datang mendoakan, dengan doa-doa tulus memohon perlindungan dan keselamatan kepada Gusti Allah.

Mahendra tertawa-tawa khas bayi, baru gigi depan yang tumbuh, air liuranya masih meler ke mana-mana. Sesuai tradisi, si bocah akan dibiarkan di dalam kurungan, dan mengambil barang yang ada di dalamnya. Betapa mengejutkan, Mahendra mengambil tiga benda di sana, berupa uang, buku, dan pensil. Ingatan ini terbang begitu kuat di dalam kepala si ibu. Liana bertepuk-tepuk tangan kecil.

“Pintar....! Wah!” ucap Liana melihat anaknya antusias dengan barang-barang di dalam kurungan.

Hesti, jika boleh berpendapat, ini adalah ramalan diriku. Aku meramalkan diri sendiri tentang masa depanku akan seperti apa. Tedaksiti ini mengajarkan bahwa hidup ini telah ditentukan, memiliki pesan tersembunyi dan aku baru menyadari saat menekuni dunia tulis-menulis. Bahkan ibu sebetulnya sudah bercerita perihal tedaksiti di masa silam yang kujalani. Aku mengambil uang, buku, dan alat tulis.

Kau tahu? Aku memang santai bila kekurangan uang, tak pernah merasa tertekan bila tidak memegang uang, bahkan biasa saja ketika punya uang cukup banyak. Tidak memegang uang sepeser pun, tak masalah, meski megap-megap, kembang-kempis, ya, biar bagaimanapun aku tetap butuh uang. Kemudian, aku tak mau memercayainya—tetapi inilah diriku sekarang, buku dan alat tulis yang kuambil, seakan merepresentasikan hidupku di masa depan, menggambarkan diriku akan menjadi penulis, aku memang menyukai buku, alat tulis berupa pensil dan pena, sering kugunakan untuk mencoret-coret, menulis kata-kata puitis, membuat sketsa. Aku hidup tidak jauh-jauh dari apa yang kuambil saat tradisi tedaksiti itu.

Lihat selengkapnya