IBU TANPA RAGA

Yusuf Mahessa Dewo Pasiro
Chapter #19

Pit Mini Bekas

Seorang tetangga menjual sepeda mini, sepeda khusus untuk perempuan, berbentuk meliuk, seperti angsa, sering disebut pit mini. Liana menawarnya dengan kukuh, minta harga pas, empat ratus ribu atau justru enam ratus ribu rupiah, sepertinya empat ratus ribu. Sepeda bekas itu masih bagus.

“Buat kerja, ngontel.” Celetuk Liana.

Pak Nata berbadan besar dan gemuk, terkekeh dan melontarkan candaan pada Liana, “Beli motor saja, lebih enak dikendarai.”

“Sehat naik sepeda, anggota badan gerak.” Sahut Liana.

Sepeda itulah yang digunakan untuk mengais rezeki, berangkat dan pulang kerja dengan sepeda mini bekas itu. Ada keranjang di bagian depan, sering digunakan untuk meletakkan sebungkus sayuran, atau nasi bungkus. Terkadang topi hitam yang digunakan untuk melindungi dari terik mentari. Semasa gadis dia bekerja di sebuah perusahaan benang di Bandung, setelah menikah, merawat anak, ia memutuskan untuk menetap di tempat kelahiran, yaitu Purworejo. Sementara itu, si suami berada di Pamekasan, bekerja menjadi pedagang asongan sebuah produk minuman bersoda, dan sempat tak mengabari untuk beberapa waktu karena kasus pemukulan, beberapa bulan ia ditahan di penjara sebab merobek pelipis seorang pria yang mengganggu dirinya bekerja. Selain itu, pada 2004, untuk setengah tahun ajaran TK, Liana memutuskan pindah ke Madura, dan Mahendra bersekolah di sana.

Saat itu sudah ada Aji, yang terpaut jarak satu tahun saja, sebab dahulu Aji lahir sundulan. Tidak tahu kalau ada kehamilan kedua, sesaat setelah melahirkan Aji, sama seperti saat melahirkan Mahendra, Liana langsung menghitungi semua jari kaki, jari tangan milik Aji, apakah lengkap atau tidak, karena kehamilan itu mendadak, terlambat diketahui, sundulan, kasus ini memang tak jarang menimpa beberapa wanita.

Saat itulah Mahendra berulah, di sekolah TK di Pamekasan, dia tak mau bersekolah, karena meninggalkan kampung halaman di Jawa Tengah, ia harus beradaptasi lagi dengan lingkungan dan teman baru. Hal itu tentu menjemukan, untuk kebanyakan anak. Saat itu ayahnya bekerja sebagai tukang becak untuk beberapa bulan, lantas beralih profesi menjadi satpam di sebuah perusahaan pengiriman barang.

Di tempat kerja sang ayah, Mahendra dan adiknya sering bermain bersama, dan menginap, karena satpam diperbolehkan untuk membawa anggota keluarga. Mahendra dan Aji sering bermain-main di samping timur bangunan tempat ayah mereka bekerja. Hanya mereka berdua, bocah kecil yang bisa bicara bahasa Jawa di sana. Saudara-saudara sepupu, kebetulan kebanyakan dari sepupu mereka adalah perempuan. Mereka dibuat bingung, “Mbah kenapa Mahendra dan Aji bisa bicara bahasa Jawa? Tidak bicara bahasa Indonesia atau bahasa Madura?” celetuk sepupu perempuan yang berusia setahun lebih tua dari Mahendra.

“Ya, karena itu bahasa ibu mereka, mereka tinggal di sana cukup lama, jadi beradaptasi dengan bahasa Jawa.” Ucap nenek mereka yang berbadan besar dan tegap.

Memang lidah orang-orang di negeri ini cukup fleksibel. Mereka fasih dan tidak kaku mengucapkan banyak bahasa. Keheranan sepupu-sepupu mereka tak berhenti di situ. Mereka juga kerap menirukan apa yang diucapkan Mahendra dan Aji. Terkadang ketika bertengkar, kata-kata umpatan akan keluar dari mulut mereka, pertengkaran khas anak-anak, semua itu didengar dari lingkungan, orang-orang di lingkungan terdahulu yang mengucapkannya, dan ditiru oleh dua kakak beradik itu.

Paok!”

“Goblok!” balas Aji.

Mbuh, ah!”

“Paok apa artinya, Tante?” Setidaknya itu yang terucap dari mulut saudara sepupu perempuan Mahendra di Pamekasan. “Paok sendiri bermakna dungu, bego, goblok, atau bodoh, sama saja hanya beda sebutan. Mbuh, ah! Berarti terserahlah!” ujar Liana. “Jangan ditiru, itu kata-kata kasar dan tidak sopan.”

Dua kakak beradik itu kerap mengundang gelak tawa. Suatu waktu, Si Aji—sama bandel dengan sang kakak, pernah tiba-tiba terjatuh ke selokan, sehingga membuat tubuh dan baju yang ia kenakan penuh lumpur. Di tempat kerja sang ayah yang bekerja sebagai satpam, Mahendra dan Aji akan bermain air, mandi bersama dimandikan oleh Liana. Anak-anak kecil itu sudah punya ingatan cukup tajam. Orang tuanya tak bisa membelikan banyak mainan, hanya satu atau dua, salah satunya pedang mainan yang bisa bercahaya karena memiliki lampu. Pedang mainan itu mainan pertama yang diterima Mahendra, main bareng, gantian, begitulah setiap kali ibunya berpesan agar dua saudara itu akur.

Mahendra juga ingat, kalau ia mendapat baju bergambar topi bertuliskan tersayang, bahkan baju itu juga satu setel dengan topi bertulis tersayang. Ibunya juga sempat mengajak Mahendra dan Aji ke studio foto di Purworejo. Namun, Aji—dengan penuh rasa penasaran justru mendekat ke arah juru potret yang sedang memotret mereka. “Ih! Apik, bisa mulup, iso mulup!” Aji bilang begitu karena cahaya penerangan untuk kamera membuatnya terpana. Aji bilang bagus, bisa menyala, ia jadi berpose tidak fokus karena ingin melangkah mendekat ke arah pemotret. Alhasil, tangan Liana masuk ke dalam area dan ikut terfoto karena berusaha mencegah agar Aji tidak melangkah ke arah kamera.

“Hesti, seperti yang kubilang. Ibuku itu orang hebat. Sepeda tuanya saja masih ada sampai sekarang. Meski teronggok dan tidak digunakan lagi, karena aku jika bepergian lebih memilih menaiki motor atau membonceng rekan.”

Lagi-lagi, Mahendra berdiri di depan cermin. Ini hari ke seribu dua ratus satu, ia berkisah hal lain perihal rencana mendaki sebuah gunung di daerah Wonosobo.

“Kau memang beruntung memiliki ibu seperti Liana.” Sahut Hesti di dalam cermin.

“Tentu. Dan kau tahu? Dalam waktu dekat aku akan mendaki gunung.”

“Bersama teman-temanmu yang pernah kemah di Pantai Sedahan?”

“Ya. Namun kali ini lebih banyak, bertambah rekan, ada yang mau ikut. Jadi kami akan berangkat berenam.”

Lihat selengkapnya