Saya masih kecil, belum paham perihal surat berbahasa jorok itu. Mungkin orang iseng, tetapi itu terlalu berlebihan, ia menulis, Wanita sendiri di rumah tetapi kok punya anak laki-laki dua. Itu yang tertulis di gulungan kertas itu, diikat pada ranting kering dan dicampur tanah pekuburan.
“Tanah jaratan, kalau tanah merah begitu.” Ujar Kek Amad saat itu.
Saya memang tak paham dengan maksud surat menghina itu, tetapi saya mengerti bahwa itu melecehkan ibu saya. Ketika saya lulus SD, saya ingat kisah itu, dan bertanya pada ibu, mengapa dahulu ada orang melempar surat kotor melalui lubang ventilasi jendela kamar. Ibu hanya bilang itu orang iseng, biar saja. Namun, intuisi, deduksi, dan kepekaan saya tajam, sepertinya saya memang punya firasat, dan jika saya mengira atau menebak sesuatu, kebanyakan hal itu akan terbukti benar. Saya tahu orangnya, siapa yang melempar surat itu. Merendahkan ibu saya, saat bapak saya tidak ada di rumah. Seakan menganggap ibu saya adalah pelacur. Yang terhormat, Tuan Keinginan, jika boleh, saya ingin sekali menghabisi pelaku pelemparan surat kotor bernada hina itu.
Anda pasti akan berasumsi bila saya adalah jagoan, pahlawan penjaga ibu, lelaki sejati. Saya tak pernah berpikir begitu, bahwasannya saya gagal menjaga ibu saya. Surat itu, dilempar melalui lubang ventilasi jendela, menggeser kerai, sebab tirai penutup jendela di kamar kami agak tipis, jadi bila lampu menyala, orang dari luar bisa mengintip kami di dalam kamar. Sementara kami, saya dan Aji, tak mau tidur bila lampu kamar dimatikan.
Persoalan surat kotor tersebut benar-benar membuat saya marah, sungguh. Jika sekarang orang itu ada di depan saya, akan saya terjang wajahnya, saya injak-injak—namun tak masalah, dia sudah mati. Orang itu sudah mati, karena sakit juga. Tak masalah, saya tak masalah. Hanya saja memang dendam itu lahir akibat rasa kesal dan terhina. Ia menginjak-injak harga diri keluarga kami. Apa ini manusiawi? Kemarahan dan dendam saya ini?