Setiap kehidupan pasti akan sukses menerima kematian dan menuju ke singgasana bernama kubur. Mahendra masih berjibaku, bergelut dengan kemelut batin, konflik di dalam dirinya belum usai. Berkali-kali dia berang, merasa hidupnya hambar. Matanya nyalang memandangi sekeliling, ia beranjak bangun dari tempatnya tidur. Ia duduk di atas kasur, tetapi perlahan ia langsung menyadari kalau itu bukan tempat tidur yang biasa. Mahendra berada di tempat lain, tidak di rumah.
“Di mana ini?” Ia bertanya-tanya. “Kenapa aku tidak di rumah? Ini ranjang siapa?”
Saat itu juga, ia menatap ke langit-langit, kemudian mengalihkan pandangan ke depan, ada tirai berwana hijau, ia menoleh ke kanan, ada tabung oksigen, lantas ia membelalakan mata. Ia berada di rumah sakit.
Ia mencoba menelaah, bagaimana bisa berada di sana. Namun, tak ada petunjuk, ia tak ingat apa-apa. Apakah ingatan itu akan muncul nanti? Dia belum bisa mengetahui. Berbagai spekulasi memenuhi kepalanya, ia kebingungan. Kemudian, ada sosok pria baru masuk ke ruangannya, ia dari luar—bau asap rokok.
“Kok Mahendra belum sampai sini?” ujar pria itu.
Mahendra mengerutkan kening, ia bingung, cukup skeptis dengan ucapan pria barusan. Lantas ia menoleh ke arah kaca jendela di ruangan itu, memantulkan wajahnya, meski tak jelas, karena bukan cermin. Wajah perempuan.
Lantas, tiba-tiba, secara arogan dan ganas dia dibekap dengan serangan ingatan panjang, bertubi-tubi ingatan masuk ke kepalanya. Dia mendadak menguap, tubuhnya lemas, tetapi tidak ingin tidur. Dia ingat semua, dia dirawat di sana karena muntah darah pada Senin lalu. Mahendra meraba tubuhnya, mengusap wajah, memeluk dirinya sendiri, dia berada di dalam tubuh ibunya. Wajah itu, tubuh gempal tersebut, adalah tubuh milik sang ibu.
“Sekarang jam berapa?” ia berujar. Suaranya sedikit serak.
Pria tadi menyahut, menjawab bahwa sudah jam sembilan lebih. Mahendra tahu, itu adalah ayahnya, bau rokok kemenyan itu, ia pasti dari luar ruangan dan mencari tempat untuk merokok.
Aku akan mati, setidaknya itu yang dipikirkan Mahendra di dalam tubuh ibunya. Namun ia merasa senang, tak ada orang yang begitu bahagia menghadapi kematian, bukan tanpa sebab, karena ia untuk sesaat bisa berada di sana, di tubuh sang ibu. Menatap wajah itu dari pantulan kaca jendela rumah sakit.
Jadi ini adalah hari terakhirku di dunia ini? Mahendra menerka-nerka, dia ingin melihat apakah ada yang datang. Sudah pasti dia menanti dirinya, menanti anaknya sendiri, menanti Mahendra. Belum ada tanda-tanda kemunculan Mahendra.
“Aneh. Apa dia langsung ke kampus?” ucap sang ayah.
“Ini hari apa? Jumat, kan?” tanya Liana, alias Mahendra.