Mahendra, temanku.
Mengapa kau tidak mengirim surel padaku? Kau absen satu hari. Aku tahu kau sibuk, ada banyak pekerjaan dalam kepalamu—seperti pabrik yang tak pernah istirahat. Ada banyak nuansa dan aura, semua itu harus kau tuangkan menjadi tulisan. Larik-larik, tiap kata, tiap paragraf, adalah sebuah pesan kehidupan. Aku tak akan menghakimi atau mendikte apa pun, kau berhak atas hidup dan pilihan-pilihan hidupmu. Jujur, memang hampa, semenjak orang yang kita sayangi tak ada lagi di samping kita, semua terasa hitam dan putih saja. Kita tak bisa menghapus semua noda-noda dalam hidup ini.
Namun, apakah kau punya kenangan selain kesedihan? Tentu saja, pasti kau memiliki kenangan indah itu. Coba, sekarang ubah cara pandangmu, gali lebih banyak perspektif, sebab dari tegalan-tegalan sawah, pasti ada rumputnya, dari derasnya air sungai, memiliki kehidupan dan kebermanfaatan, dari kerasnya badai, hantaman-hantaman gelombang pada lambung kapal, ada satu tekad dari para awak kapal, ingin hidup.
Ada harapan, keinginan, semua itu menyelimuti manusia di muka bumi ini. Ciptakan sebuah kenyataan lain—yang lebih mulia dan menggembirakan, saling resonansi dengan hawa positif pada dirimu. Aku tahu, kau dahulu adalah sosok periang, seorang anak pria berperangai meneduhkan, gemar menolong, bahkan kau rela mengorbankan kebahagianmu sendiri. Ada dinding dalam jiwamu, sebuah benteng kokoh tak akan runtuh bila kau mempertahankannya.
Jika napasmu masih berembus di dunia ini, itu artinya akan tetap ada harapan, kan? Kau bisa memohon apa pun, untuk tetap mensyukuri hidup. Apa lagi, ya? Oh, aku tidak tahu ungkapan pepatah atau petuah-petuah lain, hanya saja—kita lahir ke dunia dengan tujuan mulia, ada kebaikan di dalam diri kita. Oh, maaf. Bukan maksud aku menggurui dirimu, Mahendra. Namun kau bisa mempertimbangkan saran-saran dariku. Segera balas pesan ini, ya. Bila kau sudah selesai berurusan dengan makhluk bernama Tuan Keinginan.
Sahabatmu.