IBU TANPA RAGA

Yusuf Mahessa Dewo Pasiro
Chapter #28

Jiwa Panas saat Cuaca Sejuk

Hesti!

Kala itu aku sudah mati.

Seharusnya begitu, tetapi tidak jadi, sebab masih bisa menghindar dan motorku berhenti tepat sebelum kereta melintas. Memang sering begitu, banyak hal tak terduga, apa lagi di perlintasan kereta api tanpa palang begini bahkan kerap dijadikan sebagai tempat bunuh diri juga di sini. Kereta melintas, seperti ular raksasa berkecepatan tinggi. Angin dari kereta masih terasa di wajah sesaat setelah kereta lewat. Aku melanjutkan perjalanan ke rumah. Biasanya kejadian seperti tadi cukup sering kualami, mendadak kereta akan melintas, tetapi pengendara motor baru sadar saat kereta sudah amat dekat.

Tempat ini disebut Sampir, sebuah perlintasan kereta yang memotong jalan penghubung antar desa. Ketika melintas sana harus selalu siaga, menoleh kanan dan kiri, sebab seperti ada kerai penutup mata, dan penyumpal telinga yang sering membuat kita tuli atau tidak mendengar suara kereta. Klakson kereta akan berbunyi saat mendadak ada orang ingin melintas, beruntung itu membuat si pengendara atau penyeberang perlintasan kereta tergagap dan segera berhenti. Bila tidak mendengar, akan sangat fatal. Banyak perlintasan-perlintasan kereta api tidak berpalang seperti ini, hanya dijaga saat musim Lebaran, atau hari besar tertentu, Natal dan Tahun Baru misal.

Banyak fluktuasi terjadi, berbagai sebab musabab. Seumpama diriku mati saat itu mungkin semua akan aman terkendali, bumi akan berjalan seperti biasa, tetap ada bayi lahir, manusia baru. Mati—artinya kau akan meninggalkan segalanya. Aku tahu itu.

“Namun, kebencian makin menggumpal di dadaku, terhadap banyak hal, sampah-sampah plastik yang dibuang sembarangan.”

“Ada apa dengan sampah itu?”

“Biasanya para jemaah pengajian membuang sampah-sampah mereka ke samping rumah dan pekaranganku, menyelipkan sampah plastik di pagar tumbuhan, atau pagar teh-tehan.”

“Kau serius ada kejadian seperti itu?”

“Jujur, mereka seakan melempar kotoran—melontarkan tahi kerbau ke mukaku. Mencoreng nama baik panitia pengajian atau panitia penyelenggara. Entah, kesadaran tentang membuang sampah masih rendah di negeri ini dan lingkungan sekitar kita. Sampah itu milik mereka, setidaknya bawa pulang, masukkan saku, atau kunyah dan telan sekalian, bila tak ada tempat sampah di situ. Karena hal itu, aku marah—aku boleh marah, kan? Tentu, penulis memang harus penuh kemarahan. Aku sediakan tempat sampah, dari ember bekas cat, cukup besar, aku letakkan di depan rumah, di tugu masuk ke halaman rumahku, agar mereka tak lagi menyebar sampah plastik mereka.”

“Itu sungguh terjadi? Sampah-sampah mengesalkan itu dibuang dan berserakan di halaman dan samping rumahmu?”

“Ini fakta, bahkan tidak hanya sekali! Hingga membuatku kesal, aku tak habis pikir. Mereka-mereka belajar apa? Belajar membuang sampah sembarangan? Aku tahu banyak penyelesaian untuk mengatasi ini—salah satunya kusediakan tempat sampah, tetapi tetap saja sama, belum berubah! Rasanya aku harus menampar mereka satu-satu.”

“Memang. Menyampah sudah menjadi budaya, dianggap biasa. Tetapi apa mereka tidak mampu membeli tempat sampah? Untuk diletakkan di samping tempat mengaji?”

“Hesti! Masalah-masalah begini memang menyebalkan, para sesepuh, tetua, menuntut pemuda untuk aktif. Meramaikan tempat-tempat ibadah, tetapi, mereka masih gemar bergosip, menggunjing, bicara omong kosong terus menerus. Semua itu akan dicontoh, dan kembali lagi ke anak-anak mereka, generasi berikutnya akan meniru, dan berulang-ulang lagi, seperti siklus kutukan. Berkelakar, terbahak, tergelak keras-keras, bahkan latah dan menggibah di serambi masjid. Aku ingin bodoh amat, ingin tak peduli, tetapi hal itu membuat kesal dan sebal. Semua manusia bisa berubah, ya, mungkin anggapan itu benar. Namun, watak akan sulit diubah. Kau tahu? Memang orang dewasa tak bisa menjaga mulut. Kata Ernest Hemingway, ‘Manusia memerlukan dua tahun untuk berbicara, tetapi butuh lima puluh tahun untuk belajar tutup mulut.’”

“Mengerikan. Agaknya mereka sudah menyulut kemarahan seseorang pendiam, tidak pernah mengusik kehidupan mereka, tetapi mereka terganggu dengan dirimu yang tenang dan dianggap selalu mengalah. Memang mulut dan lidah berbahaya, sudah terpagar gigi dan direkatkan bibir, tetapi bisa menyakiti.”

“Benar, Hesti! Lagi pula, aku tak pernah menuntut apa-apa. Pemikiran-pemikiranku memang berbeda dengan mereka, kami pemuda menganggap mereka kolot. Mereka menganggap kami anak muda hanya gemar berfoya-foya. Timbal balik antara pemikiran buruk, memang benar pikiran itu kuat bagai magnet.”

“Apa kau terbawa suasana saat ini?”

“Hesti, bukan maksud terbawa perasaan atau suasana, tetapi memang ini sebuah fakta. Ada konflik-konflik di dalam masyarakat, sebuah penyimpangan, dianggap biasa. Biasanya kebenaran terungkap dari tulisan, seperti pesan kematian dalam cerita detektif—karena kenyataan selalu ditutupi di dunia ini, terungkap lama, bahkan tak akan terungkap seperti banyak kasus korupsi.”

“Wah! Betul! Memang kebanyakan gambaran masyarakat dan tingkah manusia ada dalam sebuah buku, kita belajar dari mengamati dan melihat. Sepertinya menggunjing benar-benar dianggap sebagai hal biasa, kepo urusan orang lain, mencampuri urusan orang lain, menghina dengan nada bercanda, merendahkan.”

“Hesti! Aku tak pernah mau ribut, dan memilih menyingkir, diam, tidak menindas ataupun membalas perbuatan para orang yang merasa dirinya suci. Atau justru si alim ulama dengan berbagai kedok, kasus pencabulan santri dan sebagainya—memang ada, mau menutup mata? Aku berdosa, orang penuh coretan hitam, guratan kesalahan, tidak sempurna, tetapi aku bisa melihat sebuah ketulusan, kebaikan, dan kemunafikan di bumi tempat kita berpijak ini. Jangan dihilang-hilangkan, jangan menabukan semua hal, ada pelajaran dari setiap kejadian. Itu pasti. Dan bisa terdapat dalam tulisan atau sebuah buku. Ernest Hemingway berkata, ‘Semua buku bagus memiliki satu kesamaan, buku-buku tersebut justru lebih benar dari apa yang benar-benar terjadi.’”

“Oh! Aku paham. Dunia memang penuh misteri dan komedi. Apa kau melihat kalau mereka gemar menghakimi, mengkafirkan, dan menilai seenak udel?”

“Betul. Padahal kami tak mau menilai, tetapi mereka menilai kami, hubungan timbal balik ini nyata, kau sebut saja karma. Ada sikap sok, pongah, paling suci, merasa benar, menampik semua saran dan pendapat, gila jabatan, dan arogan.”

Lihat selengkapnya