Aku akan mengalihkan pembahasan ini, pokoknya membahas hal negatif tentang tetangga, atau orang lain, tidak akan ada habisnya. Bahkan, hal semacam itu sudah ada sejak zaman dahulu, atau bahkan zaman purba, para manusia purba saling serang—adu mekanik, rebutan wilayah tempat tinggal dan sebagainya. Aku cukup segan, menaruh hormat, pada orang-orang yang juga menghormatiku. Tak pernah berniat membalas semua tindakan buruk mereka—bahkan bisa saja tindakanku saja dinilai menyudutkan mereka, atau justru membuat mereka tersakiti. Kita tak pernah tahu ke depan akan bagaimana. Sebab ada hal lebih penting untuk kukerjakan, aku ingin sembuh. Oh, ini bukan penyakit, seperti harus membutuhkan dokter atau obat berupa kapsul atau pil. Hanya diagnosis semata, punya gejala—atau apa sajalah, mungkin seperti katamu, kalau aku gila?
Namun, tidak, aku selalu tertawa bersama teman-temanku. Kapan kau keluar rumah? Bukankah kau mengurung diri? Mungkin kau akan bertanya begitu. Benar, aku memang jarang keluar saat siang hari. Aku sering keluar rumah saat malam hari, tongkrong, minum kopi di warteg bersama teman, atau mereka mendatangiku di rumah pada malam hari. Meski sebetulnya aku sering keberatan dan terganggu ketika ada jadwal menulis, mereka datang. Namun tidak jadi persoalan, karena mereka memberi hiburan. Bermain gitar, menyanyi bersama, menyesap kopi, terkadang bercanda tak jelas arah. Kembali kepada persoalan aku hilang ingatan, atau ... ah, ya, salah ingatan.
Suatu malam, di tempat tongkrong, aku membahas perihal Study Tour saat kami SD, biasa, obrolan pria berumur, saat kehabisan pembicaraan pasti akan membahas masa kecil, atau kekonyolan zaman dahulu. Ini soal perjalanan wisata saat kami masih SD, aku duduk di warteg bersama dua teman SD. Mereka adalah Tama, pria dengan cukuran rambut bros, berkulit putih, dan berlengan besar. Satunya bernama Rafli, berambut keriting, penuh berewok dan berkumis lebat. Malam itu kami membahas banyak kenangan masa silam saat kecil.
Aku bilang kalau kita pernah ke Borobudur.
“Seingatku memang pernah di sana bersama Elfin dan Budi, bahkan dalam ingatanku, Budi menyapa bulai di sana. Halo Mister ... Halo Mister ... begitulah.”
“Tidak. Kita belum pernah ke sana.” Sahut Rafli dengan dibarengi tertawa.
“Pernah. Aku yakin berlarian di candi itu, bahkan memegang stupa, Elfin dan aku juga sempat difoto oleh turis di sana yang membawa kamera. Aku ingat itu.”
“Tidak ada! Belum pernah, Ndra!” celetuk Tama. Ia juga memberi pendapat sama dengan Rafli, bahwa anak-anak SD dahulu belum pernah ke Borobudur. Kami hanya ke Owabong, kata mereka kompak.