IBU TANPA RAGA

Yusuf Mahessa Dewo Pasiro
Chapter #30

Mendulang Kepedihan

Jangan menganggap saya manusia sempuran, pria tampan, dalam puncak maskulinitas abadi. Tidak, saya pasti akan menua—sama seperti orang-orang. Tuan Keinginan, Anda adalah makhluk asing, mungkin saja tidak mengalami kematian, tidak menua, Anda abadi. Ada satu pertanyaan, untuk apa Anda berada di sini, bila bukan mencabut nyawa saya. Bila itu memang tujuan Anda—membawa ruh saya, tak apa, saya merasa sudah tidak punya apa-apa, segalanya sudah dirampas, tetapi jika tetap ingin merampas hidup saya, silakan.

Dari hari ke hari, saya tak ubahnya seperti sampan bobrok di atas danau, kemudian hancur tenggelam ke dasar danau, sebagian serpihan papan atau kayu dari sampan itu mengapung, sebagian lagi hancur lebur tak bersisa. Saya adalah pengembara letih, tak punya bekal lagi, bahkan sudah kehabisan air untuk minum. Jika tetap memaksa melanjutkan perjalanan, maka tidak ada harapan untuk bertahan lebih lama di gurun pasir nan gersang. Ah, Anda tentu tak akan mau memberi kemudahan begitu saja, maka dari itu saya akan katakan kalau kali ini saya pasrah. Benar-benar tak jadi persoalan, silakan lakukan saja tugas Anda, Tuan.

Rentang hidup manusia cenderung pendek, tak ada keabadian di dunia ini, saya paham. Namun katanya menulis bisa membuat kita bertahan lebih lama di dunia ini, kan? Saya tak peduli dengan pendapat Anda, apakah ketenaran, harta segunung, saya tak pernah memedulikannya. Untuk saat ini hanya ingin menjalani hari tanpa perasaan takut lagi. Itu keinginan saya, Tuan Keinginan. Tidak muluk-muluk, saya pria sederhana, dengan sandal butut, pakaian murah, celana kedodoran, tak pernah mengenakan jam tangan mewah, tidak pernah menyantap hidangan berharga jutaan rupiah. Tuan, saya adalah saya, tak ada yang bisa menggantikan. Jika boleh, saya hanya ingin menulis sampai akhir hayat—dan akan menentukan kematian sendiri. Mungkin saya memilih untuk mati di antara buku-buku dan karya-karya saya. Saya mencintai pekerjaan ini, jauh di relung hati terdalam, dan benar, saya memang pernah menyerah pada keadaan.

Sampai sekarang pun masih terus dihantui rasa bimbang, kebingungan, dan ketakutan. Malam-malam memang berlalu seperti biasa, tetapi hal paling mengerikan dari malam itu saya tiba-tiba tidak bisa lagi melihat ibu. Rupanya, ketakutan-ketakutan kita memiliki efek penghancur seperti bom atom, pikiran negatif bisa menarik apa saja yang kita takuti. Saya tak pernah ingin itu terjadi, tetapi rupanya memikirkan itu terus-menerus, justru hal mengerikan itu menjadi kenyataan.

Lihat selengkapnya