IBU TANPA RAGA

Yusuf Mahessa Dewo Pasiro
Chapter #32

Ketika Kematian Menyapa

Pada tahun 2019 semua berubah, nasib keluarga dan diriku, bahkan segala hal di sekitar. Benar, kita akan tetap melangkah, tak akan berpijak di tempat sama terus-menerus. Namun kini aku tak bisa lagi melangkah, badanku tak mau bergerak. Aku telentang di atas rel kereta api. Pandanganku menengadah, telentang menatap angkasa nan biru. Mendadak, suara klakson kereta terdengar dari kejauhan, aku hanya bisa melirik dan menoleh sedikit saja ke arah kanan. Kereta itu datang dari selatan, aku tak berkutik, tak bisa bergerak-gerak. Ada energi kuat mencengkeram tubuhku. Suara besi rel berbunyi, kepalaku menempel pada besi rel sebelah barat, suara bunyi besi rel terus terdengar makin jelas karena kereta akan lewat, berdesing-desing, sing-sing-sing-sing, seperti dua mata pedang yang saling beradu.

Makin lama kereta itu mendekat, rel bergetar-getar, batu-batu, bantalan rel juga bergetar, dan aku melihat kereta itu tinggal beberapa detik lagi menggilas tubuhku, lima detik, empat, tiga, dua satu. Dan semua menjadi gelap.

Ini sakit—lebih sakit dari suntikan ketika donor darah, lebih sakit dari pukulan pentungan polisi, karena aku pernah dikeroyok lima polisi, memukuli kepalaku dan menarik-narik motorku—karena aku memang salah, melintasi jalanan kota menggunakan motor mati pajak.

Kini kepalaku terbang, terputus dari badan yang terseret lima puluh meter, atau lebih, entahlah. Kaki kananku putus dan melayang menghantam rel sebelah timur, karena perlintasan kereta ini dua jalur. Kemudian, tangan kananku putus dan terlontar hingga sawah di pinggir rel. Kepalaku yang masih melayang, merasakan getar-getar, ada tiga detik atau tujuh, entah, waktu seakan melambat.

Aku melihat ibuku menimang-nimang diriku, melihat ayahku merantai diriku di tiang antena televisi, karena aku berulah dan saking nakalnya. Aku diikat dengan rantai besi, semalaman aku menangis keras, meraung-raung, saat itu aku masih kelas tiga SD. Berlanjut pada kilatan-kilatan cahaya menyilaukan, kilasan kenangan ketika aku terjatuh, saat aku membakar kasur yang sedang dijemur ibu. Saat itu aku tengah bermain korek api kayu bersama Aji, kami berdua memang usil, banyak tingkah, dan melontarkan korek api yang sudah tersulut itu ke kasur yang sedang dijemur—sebenarnya aku yang melontarkan korek kayu menyala itu, alhasil kasur kami bolong. Sehabis membakar kasur itu, aku lari sembunyi di bawah pohon kenanga di barat kamar mandi, dekat sumur di rumah kami. Daerah itu rimbun, penuh semak-semak, aku meringkuk di sana, takut digeprek ibuku.

Dan ingatan terakhir adalah ketika aku menunggui jasad ibu, saat ia dibawa dari ruang rawat ke ruang jenazah di rumah sakit, untuk persiapan menuju rumah menaiki ambulans. Karena aku meminta untuk membawa pulang langsung, rumah sakit tidak kuizinkan untuk mengurus atau mengkafani ibu, biar pihak keluarga saja yang mengurus. Aku di ruangan tersebut, ada Quran tergeletak di meja, aku mengambil Quran itu dan membacanya mulai dari surah pertama. Aku membaca dengan suara gemetar tetapi lancar tanpa terbata, aku sudah bisa membaca tulisan Arab sejak kecil, karena nenek adalah guru mengaji, bahkan nenek juga bisa berbahasa Jepang. Siti Sangidah adalah sosok wanita tua yang gemar mempelajari tentang keagamaan, bahkan secara teologi—ia berpengetahuan luas, tentang Nasrani, Hindu, dan lainnya—tetapi ia tetap teguh pada Islam.

Aku membaca Quran di samping jenazah ibu meski beberapa ayat saja—kurasakan damai dan tenang ketika membaca ayat Quran saat itu, tetapi, semua berubah, ketika waktu makin berlalu semenjak kematian ibu, siraman rohani apa pun seakan tak bisa memberikan efek keselamatan bagiku yang sudah terseret ke dalam lautan kegelapan, hatiku rapuh, dan menuruti kegilaan pribadi di pikiran, berlarut dalam kesedihan. Aku tahu, memang Quran adalah pegangan hidup agar tak salah arah, tetapi kini ... ah, aku tak bisa menjelaskan apa pun—kepalaku mau meletus. Dokter—psikiater dan lain sebagainya juga tak mempan membantuku.

Lihat selengkapnya