IBU TANPA RAGA

Yusuf Mahessa Dewo Pasiro
Chapter #35

Sang Seniman Menulis

Tidak ada panduan khusus dalam mendaki sebuah gunung, itu karena aku belum pernah mencoba. Namun, di pendakian kali ini, rasa hebat dan kuat menjalari diriku, mungkin karena faktor dari teman-temanku, dalam kelompok kami berisi orang-orang menyenangkan, meski terkadang memang ada rasa kesal, sebal satu sama lain, tetapi ada yang memendam saja, ada juga yang asal mengutarakan. Kami tak merasa jemu, apa lagi ingin mengakhiri pendakian dan kembali ke rumah.

Kami dari basecamp menuju pos satu dengan berjalan kaki, melewati jalan yang sudah dibeton, banyak yang memilih mengojek, kelompok lain memulai pendakian dari pos satu. Kami benar-benar memilih berjalan kaki semua, tidak memilih menyewa jasa ojek.

Aku ingat pesanmu, jangan pernah merasa jemawa, alam akan merendahkan dirimu di tempat tinggi. Kau boleh berlagak, mengutarakan segala pendapatmu dengan kalimat kasar, seolah ceplas-ceplos, tetapi kau tak akan bisa menang melawan kuasa alam. Kau membuat diri sendiri terlihat bodoh, kau merasa berani hanya karena berada bersama kelompokmu, bagaimana kalau kau sendirian, terpisah dari kawananmu? Sifat dan watak aslimu akan terlihat, kau jadi cupu, culun, pengecut, ketika terpisah dari kawananmu. Sebisa mungkin bila kau berada dalam suatu kelompok, tetap hargai orang yang ada di kelompokmu. Tak usah menyusahkan, benar, kan? Kau memberi petuah padaku di depan cermin, dan aku menuruti apa katamu.

Semua ditunjukkan, ditelanjangi di depan alam, tak ada yang bisa menyembunyikan diri kita ketika berada di alam bebas dan terbuka. Pohon-pohon, tanah, angin, terik mentari, bebatuan, semua menatap dan memerhatikan kami sebagai tamu. Aku melihat dengan gamblang, melihat sendiri, bahwa memang ada orang-orang begitu, yang tak bisa mengutarakan perasaan dengan jujur atau tulus. Ia hanya mau terlihat kuat dan sok, padahal pengecut, menutupi mental tempenya dengan ucapan dan kalimat kasar dari mulut. Ada, memang ada orang semacam itu. Bahkan mungkin dalam kelompok kami.

Kau boleh meremehkan siapa saja, tetapi, kau tak akan bisa terima ketika mengetahui orang yang kau remehkan lebih baik darimu. Begitulah pelajaran pertama dari perjalanan kami menuju pos satu, dan mulai dari pos satu, kami melanjutkan ke pos dua dengan lebih santai, karena medan sudah mulai terjal dan menantang. Ada beberapa bagian yang licin, tanah lebih gembur, atau ada yang penuh bebatuan. Ada tiga ransel besar yang kami bawa, sedangkan tiga lagi tas biasa berisi kebutuhan darurat atau primer. Setelah sampai pos dua, kami istirahat sekitar lima belas menit. Kau tahu? Perasaan gembira mulai meruap-ruap di dadaku. Kami benar-benar akan ke puncak, bergantian membawa ransel berat.

Sebelum kami berangkat, kami sepakat untuk menunjuk Kipli atau Rafli sebagai leader kami. Dalam pendakian kali ini tidak ada shelter, hanya pos biasa dengan papan nama. Urutan paling belakang adalah Hadi, menjadi sweeper, ia pria dengan tenaga kuat, keteguhan hati dan semangat membara, memerhatikan teman-temannya. Asal kau tahu, Hesti. Kalau Hadi seakan menjadi harapan kami, semua bertumpu pada dirinya. Karena pengetahuan dan pengalamannya tentang alam terbuka lebih banyak dari kami, sedangkan untuk navigator adalah Kurnia. Ia sering mendaki, dan ia punya kakak yang juga kerap mendaki, jadi pengalaman-pengalamannya benar-benar dibutuhkan dalam tim kami.

Kami berisi orang-orang dengan kepandaian dan tugas masing-masing, tiga orang bepengalaman dan tiga orang amatir. Dari Pos 2 Cemaran, saat dalam perjalanan menuju Pos Sudung Dewo, kami istirahat sebentar, karena kabut mulai turun, benar-benar pekat. Jarak pandang kami hanya sebatas dua sampai empat meter saja. Lampu senter seakan tak menolong banyak. Ada empat senter yang kami bawa, karena dua orang tidak membawa. Ketika kabut perlahan makin pekat dan menutupi seluruh medan, kami memutuskan istirahat di dekat sumber mata air dan mengisi botol-botol kosong kami.

Kami mengira akan hujan lebat karena ada suara angin kencang disertai air berjatuhan dari dahan seperti berondongan peluru, kami memakai jas hujan. Ternyata hanya kepanikan semata, hujan tidak turun. Salah prediksi, dan kami hanya menertawai kekonyolan tersebut. Perjalanan berlanjut tetapi kabut masih tetap tebal. Nyaris magrib, sudah gelap gulita, suasana mencekam, kau bisa bayangkan bagaimana hutan bisa mengambil alih semua warna. Hanya muram, kelam, terkesan mengintimidasi, menelanjangi kami, melahap kami. Kami seperti kutu di tubuh harimau.

“Aku akan menulis kisah ini menjadi sebuah buku. Kalau sekarang kita tidak menyerah, dan bisa sampai atas, akan kutulis menjadi novel! Aku janji itu!” ujarku dalam kegelapan di tengah hutan gunung itu.

“Bonus!!!!” teriak Hadi. “Semangat!” ucap dia memberi kami semangat.

“Semangat!” teriak Ibnu.

“Akan kumasukkan nama asli kalian ke dalam buku yang aku tulis!” ujarku.

Oh, benar, aku jadi teringat! Tepat pada 2013 silam, aku mengucapkan bahwa aku ingin menjadi penulis di hadapan guru bahasa Indonesia dan teman sekelas ketika aku kelas IX SMP menjelang kelulusan. Ucapan adalah doa memang tepat adanya, karena aku benar-benar mewujudkan menjadi penulis sungguhan. Bahkan, pada 2014 silam, aku berakata akan terus berambisi, sebab meyakini kalau ambisi tidaklah berdosa. Aku berkata begitu.

“Sampai puncak! Sebentar lagi!” Hadi kembali teriak di barisan belakang. “Berhitung!” ia mendadak menyuruh kami berhitung. Aku langsung merinding, bulu kuduk meremang. Urutan kami begini, Kurnia di depan sebagai navigator, urutan kedua adalah Ibnu, membawa carrier seberat 60 liter, kemudian urutan ketiga adalah diriku membawa ransel juga seberat 60 liter, dan baru bergantian dengan Jadmiko—aku menukar tas punggung biasa, dan Jadmiko membawa ransel di urutan ke empat. Sedangkan Kipli alias Rafli, leader kami ada di urutan kelima saat itu, dan paling belakang adalah Hadi, yang bertugas menjadi sweeper.

“Satu!” Kurnia berteriak di depan.

“Dua!” Ibnu menyahut.

“Tiga!” ucapku lantang.

“Empat!” kata Jadmiko.

Lihat selengkapnya