—Mengapa kau menangis?
Kekosongan ini merongrong jiwa, menyeret diriku, menguliti, dan membantai ganas. Hingga aku terpental menghantam tembok amat keras hingga meninggalkan bekas ceruk di tembok tersebut, segalanya sakit, badan remuk. Beberapa tulang bahkan menghujam menembus daging dan kulitku. Sakit, aku sakit, dilempar dalam kegelapan malam tak berkesudahan. Bagaimana rasanya sakit? Begitulah, tak terlihat, tetapi semua suram. Kepalaku pengar, berdenyut-denyut, dadaku meronta-ronta, sesak, seakan napasku tersekat di kerongkongan, aku tercekik oleh sesuatu hal tak wajar. Mataku berat, amat berat, aku ingin tidur saja, tidur lama, tidur panjang, mengisitirahatkan otak, hati, dan semua anggota tubuh. Namun, aku sudah babak belur, bagaimana aku bisa tidur tenang?
—Apakah setiap malam hanya berisi mimpi-mimpi buruk?
Benar, tak ada lagi mimpi indah. Aku seakan bermimpi, berlari amat jauh, terus berlari, lari-lari, lari dan lari, menjauhi segala ketidaksiapan dan kehancuran. Atau aku justru menghampiri kehancuran itu sendiri. Bercinta dengan perih dan luka batin. Aku tidak pernah mabuk, bermabuk-mabukan, aku tidak pernah. Tetapi malam ini aku menghabiskan sekitar lima botol minuman keras. Aku bersama rekan baru, rekan lain—entah, kenapa kami bisa kenal dan melakukan dosa itu. Ah! Saat kami bekerja bersama di sebuah tempat, aku bertemu mereka. Kau tahu, aku tidak pernah mabuk. Namun malam ini kami mereguknya.
Teman baikku tak pernah melakukan ini bersamaku. Kami berdosa, telah berdosa. Aku malu mengatakannya padamu, manusia ini penuh luka dan penuh kemunafikkan, otak bebal, bandel. Aku tidak pernah mabuk-mabukkan, sungguh. Namun, aku hanya minum air, air biasa. Benar, kan? Rekanku? Hei, jawab aku. Oh, aku tidak ingat apa-apa, aku sudah tertidur di sofa. Mereka pulang, satu orang menginap menemaniku. Aku bermimpi lari amat jauh, melintasi bibir pantai, bahkan melewati sebuah area pembangunan, penuh gedung baru sedang dibangun. Aku terus berlari, hingga bertemu seseorang dalam mimpi, entah, dia siapa, aku tak tahu. Ia menawarkan sepeda padaku, aku meminjamnya, dan menaiki sepeda itu. Aku terus mengayuhnya, jauh, amat jauh.
—Kau tidak tahu kalau saat kau tak sadar, kau mengamuk?