IBU TANPA RAGA

Yusuf Mahessa Dewo Pasiro
Chapter #37

Sang Seniman Pesimis

Tuan Keinginan membekapmu, menyeret, melepaskan tubuhmu agar jatuh melayang-layang terlebih dahulu sebelum menghantam tanah. Tak ada rasa sakit, untuk satu detik setelah tubuhmu menubruk tanah, berdebum keras, kemudian detik berikutnya tubuhmu tercerai berai barulah kau merasakan sakit yang teramat. Tak bisa disembuhkan, tak bisa hilang, seluruh badan hanya ada rasa sakit tak bertepi, tak berkesudahan. Mengejang-ngejang, beberapa otot menegang, darah banjir bagai tumpahan cat dari ember mewarnai tanah coklat menjadi merah.

Kepala pecah remahan otak tercecer di mana-mana, amburadul. Sakit! Kau tak bisa lagi bangun. Tuan Keinginan tak bisa mengabulkan keinginanmu. Kau seperti biri-biri tersesat di padang rumput gersang, melagukan senandung sengau, kelaparan mencari rumput segar. Dahaga menyergap, dingin malam membekap raga yang sudah hancur, terus mengalir, rasa sakit tersebut menjelma abadi di dalam perasaan. Tidak ada filantropi indah, kau tersesat, kini berada di antara benua hancur, distopia masa depan—menyaksikan berbagai kebrutalan dan mendengar tangis tiap saat.

Kau berkisah melalui anggota-anggota tubuhmu, tanganmu berkisah kalau dahulu gemar menulis, melukis, dan memegang pena serta kuas dengan penuh semangat, menggenggam dengan segenap hati dan harapan. Mencurahkan segalanya berharap menjadi lebih bermakna. Sang tangan berkata kerap memeluk kekasihmu dengan penuh cinta, mengusap pipi mereka, meraba bibir mereka, dan bibirmu berkisah kalau kau mengucapkan menyayangi kekasihmu, kau mengecup bibirnya, membisikkan sebuah puisi romantis. Apakah itu meredakan rasa sakitmu? Tidak? Lantas bagaimana dengan kakimu, sang kaki berkata ia berlari menjauh, menghindari kenyataan, mendatangi sungai kehidupan, berarus ganas. Kau tak bisa berkutik, kini hidungmu berkata kalau kekasihmu amat wangi, tercium aroma kasturi nan lembut.

Kesedihan lebih sakit daripada kesepian tak berkesudahan. Matamu berkisah kalau sepasang mata itu senang membaca, dan akan bahagia menyambut kedatangan kekasih, menatap lama dan dalam. Kau menangisi dirinya ketika dia pergi, sang mata kiri lelah karena kejadian tertusuk jarum sol sepatu di masa silam, sang mata kanan masih tetap ingin memandangi wajah teduh itu.

“Jangan. Kau tak boleh mati.” Ada suara samar, sosok perempuan, itu suara yang kau kenal. Apakah dia ibumu? Entah. Lantas jika dia ibumu, ada di mana sekarang?

Sebuah suara menggema, bergaung panjang, suara penuh kasih, telah lama tak terdengar dan kau amat merindukan suara itu. Telingamu bilang suara merdu menggugah sukma itu adalah suara ibumu. Kau terhenyak, mencoba mencerna banyak kejadian. Kini semua anggota badanmu menyatu, rapat, kencang, utuh seperti semula. Tak ada luka sedikit pun, itulah perasaan ketika kau menjemput ajal dengan cara melompat dari gedung tinggi. Kakimu patah, kepala remuk, dan mungkin tanganmu juga patah dan terpental.

Lihat selengkapnya