IBU TANPA RAGA

Yusuf Mahessa Dewo Pasiro
Chapter #38

Sang Seniman Kritis

Suatu hari, akan digelar acara selawat di Alun-alun Purworejo. Acara itu akan ramai dihadiri santri-santri dan banyak orang sekitar. Mereka akan berselawat bersama seorang habib. Tiba-tiba, Hadi mengajak Mahendra. Tanpa ragu, Mahendra langsung mau ikut. Mereka berangkat berempat, Ibnu, Mahendra, Hadi, Jadmiko.

Bagi Mahendra, menghadiri konser, ikut kegiatan bazar dan lain sebagainya, ataupun ke bioskop sudah sering dilakukan. Kali ini mereka ingin ikut selawatan. Tak ada salahnya, dan mungkin bisa membuat hati lebih tenteram.

Acara itu ramai, ribuan orang berkumpul di alun-alun. Banyak pedagang, mereka membawa bendera, spanduk, dan berbagai poster. Ada juga yang membawa tulisan Free Palestine. Jadmiko ingin mengibarkan bendera, tetapi bendera bajak laut.

“Mana tadi bendera One Piece yang kau bawa?” celetuk Ibnu.

“Ah, aku tak jadi mengibarkan. Tadi ada polisi, takut ditangkap, dikira bendera pemberontak. Kita selawatan saja tak usah mengibarkan bendera apa pun.” Sahut Jadmiko.

“Tak apa. Bahkan mengibarkan bendera grup musik di sebuah konser juga tak masalah. Ini bendera bajak laut, tidak lebih tinggi dari bendera negara kita. Kata Gus Dur, sih, tidak masalah, silakan mengibarkan bendera lain asal tidak lebih tinggi dari Sang Merah Putih.” Ibnu mengutarakan sebuah kalimat bijak dengan nada bercanda.

“Aku tetap tak mau. Sudah simpan saja benderanya. Biar di dalam jok motor.” Jadmiko kukuh.

“Lagi pula kita mau selawatan, bukan bermain bajak laut.” Celetuk Hadi.

“Toleransi dalam mengibarkan bendera ini ceritanya?” celetuk Ibnu.

“Seperti toleransi dalam umat beragama. Bahkan aku teringat dengan kisah para pemeluk Nasrani di Palestina, mereka berujar bila masjid di sana hancur atau kena bom, bagi kaum muslim silakan salat di tempat kami (gereja), sungguh indah.” Kata Jadmiko.

“Aku juga mau bertoleransi seperti itu. Biasanya ada drum di gereja, kan? Kalau kita mau bermain musik, tetapi tidak punya drum, kita bisa main bareng mereka. Karena teman sekolahku banyak yang Nasrani.” Mahendra berujar.

“Bukan begitu juga konsepnya,” Hadi menyergah.

“Kan toleransi bermusik juga.” Mahendra terkekeh.

Mereka semua tertawa, lantas melangkah merapat ke dekat panggung. Benar-benar ramai, padat. Banyak kaum muslim menghadiri acara selawat bersama. Sekitar satu jam mereka mengikuti selawat, hingga tenggorokan serak. Lantas, mendadak Mahendra mendapat kabar melalui sebuah gawai. Ia mendapat surel yang menyatakan kalau naskah buku yang ia ajukan beberapa bulan lalu lolos kurasi editor sebuah penerbit. Ia sangat senang dan nyaris tak bisa berdiri. Mungkin itu memang harus dirayakan, ia merasa bersyukur, bahkan di tengah riuh selawat, ada rasa damai dalam dirinya. Ia ingin menangis, haru, bahagia, sedih, dan campur aduk.

Lihat selengkapnya