Kini semua tampak membentang, semua kemarahan, rasa tak karuan makin membelit dirinya dengan kuat. Membuat dia terjerembab di kubangan nanah, pria sejati yang dielu-elukan telah tumbang, gugur, dihantam berbagai prasangka, cibiran, dan rasa sakit dari pikiran orang lain bahkan dirinya sendiri. Ada lautan ganas menghajar dirinya. Ia terlontar di atas altar pesembahan setan-setan, dilempar di atas panggung opera—pentas opera hidup yang penuh kesadisan, aksi, dan musik menggema memekakkan telinga. Mahendra meringkuk, melihat Tuan Keinginan menyelesaikan tugasnya.
“Aku sudah menuruti permintaanmu yang pertama. Digilas kereta melintas.”
“Kau masih ada tugas lain.” Kata Tuan Keinginan.
Mahendra bingung, tugas lain itu apa?
“Sekarang, apa kau ingat semua perjalananmu?”
“Iya. Aku telah berkisah padamu. Aku ditinggal ibuku, mungkin ini pesan agar aku menjadi sesuatu yang baru, lebih mandiri. Kedua, aku melakukan banyak hal, bahkan bergelut dengan diri sendiri. Ketiga, seakan aku memiliki berbagai asumsi, seperti pendengki, dengan batin dan hati kotor, menampik semua kebaikan dan cinta dari mereka—orang sekitar. Aku menilai dengan prasangka, bahwa mungkin sebenarnya mereka perhatian padaku dan sayang, tetapi aku memilih diam, menyingkir dan bodoh amat.”
“Lanjutkan.” Perintah Tuan Keinginan.
“Mereka-mereka datang, memasak, menyiapkan nyamikan, pergi ke pasar, bergotong royong mengurusi para pelayat, tamu, termasuk keluarga besar yang datang saat ibuku meninggal. Para tetangga adalah orang pertama yang akan datang menolongmu saat kau kesusahan, mereka akan membantumu, meski kau membuatnya kesal—mereka akan tetap ada, karena yang paling dekat di antara kita selain keluarga adalah para tetangga. Muliakanlah mereka, bila salah, tegurlah! Bahasa kasarnya tampar jika itu bisa menyadarkan mereka dan demi kebaikan mereka sendiri, kemudian maafkanlah tingkah dan kesalahan mereka—tak apa bila kau harus dibenci, cukup bersabarlah. Tetangga umpama batu ujian untuk sesama tetangga lainnya, ada tetangga rusuh, kambingnya berkeliaran di kebunmu, ayamnya menginjak-injak jemuran, ada yang gemar jadi maling, penjudi, berbuat onar, adu mekanik atau pamer kekayaan, biarlah. Jika dunia ini gelap, bisa saja kau adalah sinar dian yang datang menjadi penerang. Manusia tetap tak akan bisa hidup sendiri. Itu yang kupahami sejauh ini, Tuan Keinginan.”
“Ya. Benar. Mereka datang ke rumahmu, membantu saat ibumu meninggal, memasak, dan lain sebagainya. Jiwa korsa dan kebersamaan mereka tinggi.” Tuan Keinginan manggut-manggut.
“Benar. Aku ingat semua kebaikan mereka. Aku tak pernah menghilangkannya, bahkan jika aku kaya, aku ingin memberi sesuatu pada mereka, pada anak-anak mereka. Aku tak ingin melihat mereka sepertiku, tidak punya fasilitas ini dan itu, tak punya apa-apa. Andaikan ada sesuatu yang berharga, dan bisa kuubah menjadi harta, akan kubagikan pada mereka. Agar tersenyum dan bahagia. Entah itu sebatas roti tawar dan sekaleng susu, ataupun hanya satu buah jeruk, ataupun hanya berupa buku komik bacaan. Aku ingin mereka gemar membaca, generasi-generasi muda itu, lebih maju dan mengenal ponsel dengan cepat, tetapi ... ya, aku hanya mau melihat anak muda dan banyak orang suka membaca. Itu saja. Aku tahu rasanya tidak punya laptop, belum punya motor, hanya punya sepeda, keinginan kita itu selalu menumpuk, padahal seharusnya mensyukuri yang telah ada. Aku tahu bagaimana rasanya tak bisa membeli buku, atau tak bisa makan roti enak, nasi goreng, membeli mainan, mobil balap, miniatur robot, atau sebagainya. Ibuku mengajariku untuk nrima, legawa, dan bersabar.
“Suatu hari aku menulis kisah yang penuh sisi amoral, tetapi aku menghentikan tulisanku untuk beberapa waktu dan beralih pada kisah sebuah becak yang dahulu dikayuh ayahku saat bekerja jadi tukang becak. Aku ingat betul puluhan kilometer ia mengayuh becak yang kutumpangi bersama ibuku, dan adik lelakiku. Meski saat besar aku berselisih dengan dia, tetapi dia adalah pria sekaligus ayahku. Berapa berat beban kami, beban becak, ditambah jalanan menanjak? Kau bisa membayangkannya, bahkan ayahku membawa bebannya sendiri. Aku tahu kau paham berapa banyak keringat yang menetes membasahi tubuhnya. Ayah bukan Superman, tetapi ia Caplin yang sedikit omong. Aku ingat betul, kami berempat menuju rumah saudara, dan sesampainya di sana aku hanya diam membaca komik Doraemon, saat itu aku masih TK dan cuek dengan percakapan orang dewasa.
“Aku selalu terkenang ucapan mendiang kakekku yang di Jawa Tengah, kalau kelak lelaki pastilah menemui kesendirian, sebuah rasa yang harus ditelan paksa dan tak boleh ditunjukkan. Aku bersumpah, kalau kakekku kerap memecuti punggung dan bokongku saat aku berulah dan nakal. Hingga aku paham kalau aku ini sebuah besi yang harus ditempa. Suatu waktu aku juga mulai sadar bahwa becak itu sudah memberikan sumbangan berupa tumbuhnya tinggi badanku dan nutrisi lain yang kubutuhkan, bahkan keju kesukaanku dan mainan pedangku terbeli berkat becak itu. Aku tak punya mainan banyak, hanya satu pedang. Dan anak tetangga yang lebih kaya biasanya aku datangi untuk bermain bersama. Dia punya robot-robotan, mobil remot, bahkan banyak mainan yang berukuran besar.
“Ibuku bilang, ‘Jangan iri, jadilah temuo2 karena kau seorang kakak pertama, jika ingin jadi orang besar harus besar prihatinnya.’ Dan aku percaya ibuku tak pernah berbohong kecuali saat ia bilang kalau dia sudah kenyang dan bilang tidak sakit. Aku melukis wajah ibuku untuk pertama dan terakhir sebelum kematiannya, dan impianku untuk berfoto merangkul ibuku dari belakang layaknya anak kecil yang manja tidak kesampaian. Selain tulisan seksisme dan absurd, lukisan amoral penuh cacian pada jagat raya bangsat ini juga kerap kubuat saat aku depresi.
"Ibuku berpesan, kau boleh mencangkul, atau bekerja jadi buruh biasa di desa atau mana pun, tetapi bila kelak ada pekerjaan lebih nyaman, menjanjikan, dan kau senangi, maka kau boleh tinggalkan pekerjaan lamamu. Namun tetap ingat dari mana asal-usulmu, jangan menjadi seperti orang serakah yang tak pernah memegang cangkul, jangan seperti para koruptor. Kau boleh berdasi, tetapi tetap membantu, tangan kananmu menolong tetapi jangan sampai tangan kirimu mengetahuinya. Kau boleh menolong dalam diam-diam.” Mahendra berhenti, menatap ke arah Tuan Keinginan.
Tuan Keinginan kagum, ia berkata, “Kau bisa menilai dan mengungkapkan segalanya itu. Kau terlahir dari wanita baik, mulia. Aku tahu kehidupanmu, kau berbudi luhur, bahkan berbahasa halus, atau bicara kromo inggil bila berbicara pada orang lain atau yang lebih tua darimu. Saat kau ragu dengan bahasa Jawamu, kau akan memilih menggunakan bahasa Indonesia dengan santun. Namun, adikmu polahnya seperti Bima dari Pandawa, ia tak pernah bicara bahasa halus atau kromo inggil dengan lawan bicaranya, lebih sering ngoko, perbedaan yang amat terlihat, tetapi dia punya hati tulus dan baik juga. Kalian dilahirkan oleh seorang ibu hebat. Tugas kedua ini kurang lebih begitu. Kau harus mencari makna lagi tentang kehidupan. Kau tidak bisa terus berpangku tangan.”
“Apa itu? Aku sudah mengurangi hal buruk, prasangka, dan potensi untuk menyakiti orang lain.”
“Kau mungkin berpikir begitu, tetapi itu justru menyakiti mereka.”
“Mengapa begitu? Aku pernah membantu mereka, mengisi ceramah meski aku bukan jebolan pesantren, tetapi budaya di negeri ini, orang yang belum TUA atau sepuh tidak boleh bicara atau menyampaikan pendapat. Mereka menutup mata dan tidur—ibaratnya begitu. Maka dari itu aku dimusuhi mereka. Bahkan mereka bilang kalau ilmu dan apa yang kusampaikan hanya sekadar mengikuti teks semata. Para orang tua itu menganggap kami tak punya pengalaman dan sebatas anak bau kencur tak becus apa-apa.”