IBU TANPA RAGA

Yusuf Mahessa Dewo Pasiro
Chapter #41

Si Penulis Gundah

Hadi datang, pria putih tinggi dan berambut lurus itu duduk tenang di samping Mahendra. Jadmiko juga datang, merapikan ruangan kacau balau itu, meletakkan buku-buku dan semua perkakas ke pojok ruangan, menumpuk jadi satu. Ibnu datang paling terakhir. Dia membawakan sebotol minuman untuk Mahendra, sebotol air mineral. Namun botol itu hanya tergeletak begitu saja di lantai.

Ketiga temannya itu tak tahu apa yang terjadi, apa yang menimpa sang penulis.

“Dia gundah?” ujar Ibnu.

“Dia hanya bersedih.” Sahut Hadi.

“Lebih baik kita menghiburnya saja.” Jadmiko menimpali.

Mereka sepakat berkisah dimulai dari Hadi.

“Kau ingat saat dahulu kecil, kita sering bersama, bermain. Bahkan perkenalan pertama kita terjadi tatkala aku pindah ke SD di desa ini. Karena aku dari desa sebelah. Aku saat itu masih gondrong, berambut panjang dan dikucir. Nenekmu—atau biasa dipanggil dengan panggilan Mbah Biru, suka sekali memanggil diriku dengan sebutan kuncung. Karena rambutku dikucir atau dikuncung. Kita menjadi teman dekat, dari kecil bersama-sama. Setiap berangkat sekolah, aku selalu mampir ke rumah ini, untuk menunggu dirimu mandi dan selesai sarapan, bahkan aku sering sarapan di sini karena dibuatkan sarapan ibumu. Terkadang aku langsung berangkat bersamamu, dan terkadang kita terlambat karena kau kesiangan dan baru bangun.

Lihat selengkapnya