IBU TANPA RAGA

Yusuf Mahessa Dewo Pasiro
Chapter #42

Si Penulis Pasrah

“Aku tak tahu akhir dari kehidupan, apakah setelah kematian neraka akan tetap membara, atau surga akan runtuh menimpa bumi. Entah, tetapi mengapa sekarang aku di sini? Dan di mana Hesti?”

“Lihat sendiri, kan? Bukankah ini keinginanmu. Sudah kubilang Hesti sedang berkeliling, ia ada tugas penting.”

“Tuan Keinginan. Ini di mana?”

“Ini di rumahmu sendiri. Lihat dinding penuh buku itu, kau adalah tulisan, kau mengisi tiap lembaran buku, kertas putih itu tertoreh oleh tinta dari dirimu dan kehidupanmu. Kau halilintar, menggelegar menyambangi berbagai penjuru bumi. Kau dalam badai, lahir di tengah prahara, dan merajut asa perlahan dan pasti. Kau mirip laba-laba pemintal benang emas, kau semut perkasa pembawa mahkota berat di atas tubuh kecilmu, dan kau bagai kuda perkasa yang berlari menyeberangi hutan belantara. Menembus pekat halimun, menerjang segala musuh yang mengadang.”

“Aku tak paham maksud ucapanmu.”

“Kau datang dari ketiadaan, dan membawa pelita, obor, atau dian, cahaya lilin mungkin tak terlalu terang, dan lilin itu memang akan habis oleh apinya sendiri. Namun, kau akan selalu bernas, tumbuh bersama pelukan dari ibumu. Lihat di sana!”

“Mahendra!” suara menggema.

Tampak buram, belum jelas, tetapi dia hafal suara itu. Suara yang selama ini ia kenal dan dirindukannya. “Ibu? Kau ibuku?” ucap Mahendra.

“Benar. Teruslah menulis, jangan berhenti.” Sahut sang ibu, lantas ia menipis bagai menghilang dalam pekat kabut. Sang ibunya pergi. Liana datang menyapa Mahendra.

“Ke mana dia?” Mahendra bingung.

"Dia hanya kembali ke tempat istirahat.” Ucap Tuan Keinginan memberi tahu pada Mahendra yang amat penasaran. “Maafkan segala keresahan, hal tak baik, dan ketimpangan itu. Maafkan ayahmu, kau berkonflik dengan dia, tetapi dia tetap ayahmu, kau berpikir ayahmulah penyebab ibumu meninggal. Ibumu jadi kurus, stres, sakit. Maafkan segala lingkungan yang meremehkanmu, mencibir, dan merasa iri padamu. Maafkan mereka, yang mengatakan tak ada penulis Indonesia yang bisa menikmati hasilnya. Memang kebanyakan begitu, orang yang tidak punya karya cenderung suka menghina karya orang lain, kan? Belajar tidak peduli itu penting, orang-orang akan kepanasan dan mendengki ketika kita tenang dan menikmati hidup. Tidak apa terlihat asyik sendiri. Banyak yang ingin menjatuhkanmu tatkala kau menuju puncak, jadilah seperti elang tuli dahulu. Membaca kehidupan sama seperti menulis dan membaca buku, ada belang dalam setiap hidup. Barangkali sebuah buku bisa lebih benar. Teruslah menulis seperti pesan Liana tadi. Jangan mengharap apa pun. Kau pernah merasa dihina, diinjak, direndahkan, dan disepelekan. Maafkan mereka, tetaplah menulis.”

“Kau sering terbangun dari mimpi aneh, kau bisa mengingat semua mimpimu dengan jelas. Dalam mimpimu ada energi lain di jagat raya nan luas ini. Kau melakukan pemindahan jiwa dari tubuh satu ke tubuh lain, seperti dalam film-film, bertemu dirimu dalam versi yang berbeda—masuk tubuh ibumu dan mengalami kematian, kau terombang-ambing dalam paralel semesta, paradoks, perjalanan waktu, atau apa pun namanya, melawan hukum alam, mengacak relativitas, fisika kuantum, hal rumit lainnya dan kau tak bisa menjelaskan dengan detail. Kau menjadi bukan dirimu dalam tubuh berbeda, kau ingin jadi Tom Cruise, atau dalam mimpimu kau adalah primadona dengan suara emas dan kehidupan penuh harta, kau melanjutkan mimpimu yang absurd dan menjadi pria pengusaha sukses dan merajai banyak saham dan pasaran. Kau meyakinkan diri itu bukan khayalan.

“Namun kau tentu tak bisa menerima saat terbangun, bila tak ada yang berubah dari dirimu yang satu, dari jiwa aslimu, itulah kau. Kau berusaha menyangkal, bisa saja ada reinkarnasi, kau dahulunya adalah raja, atau kau dahulu adalah seekor kuda perang, mungkin memang ada dirimu di semesta lain yang lebih keren, atau lebih sengsara darimu saat ini. Kau merasa hidup dalam simulasi, penuh De Javu, ada hal yang mengacak pikiranmu, mandela efek membuatmu bertanya-tanya apakah dunia sudah berubah? Ya, semua tetap berjalan dan terasa sama saja sampai kau melihat betapa besar perubahan yang sudah berlalu dari lima atau sepuluh tahun yang lalu. Kau berusaha tidur lagi, hendak melanjutkan mimpi tadi, menjadi orang lain atau menjalani kehidupan lain, kau berharap dirimu adalah Tuhan dalam kisahmu. Namun tidak, kau meyakinkan diri dalam tulisan, kalau kau menulis supaya membuat dirimu lebih yakin bahwa kau bukan Tuhan yang bisa membuat cerita sempurna. Ingat ... tak ada yang lain dari dirimu kecuali dalam pandangan orang lain, kau tetaplah kau seberapa kuat menyangkalnya, darah tetap darah, dan air laut tetap akan asin. Jadi bangunlah.”

Mahendra bangun, membuka mata. Jalannya panjang terbentang luas di hadapan. Dia seperti bayi kecil yang dahulu dibopong sang kakek dan dininabobokan di bawah rumpun bambu kuning. Dia membuka mata lantas mengucek beberapa kali. Dia seakan menjadi langsung dewasa, bayi kecil jadi besar hanya dalam waktu sebentar. Memang waktu melaju amat cepat tak bisa kembali dan tak bisa dihentikan. Mahendra beranjak dari tempat tidur, melangkah mendekati cermin besar. Dia seperti mimpi panjang, lama, mimpi yang teramat panjang seperti tak berakhir. Dia menatap wajah lesu itu di depan cermin. Ada wajahnya, bayangannya tak hilang. Dia tak menghancurkan kaca itu, tidak membuat ruangannya berantakan. Sedalam apa lukanya? Dalam kerapuhan itu, dia bertanya-tanya. Apa yang terjadi? Apakah ini kesempatan kedua, dan dia bisa mengatasi traumanya? Entah. Ia hanya bersenandung.


Segala bahasa indah ciptaan manusia ada di sini

Menujah menohok meradak alam sakti

Lakuan bakal rindu prameswari

Leraian valium tak mau menanti

 

Aku ingin kau datang

Rengkuh dalam hububan himne karang

Lihat selengkapnya