Dia resah, bahkan otaknya tak mau tenang barangkali sedetik. Di ambang rasa bimbang, tak tahu hendak menempuh jalan mana. Ia ingin melakukan semua dengan cermat. Memperbaiki segala yang rusak, dia tak melihat Hesti di mana pun, di dalam cermin mana pun. Tidak ada surel berbekas. Semuanya hilang. Detik demi detik berlalu, dia dirayu duka, digoda kesedihan dan kematian. Tuan Keinginan menghilang, tak ada lagi di ruangan itu.
Bibirnya kelu, ia melangkah mendekati galon, menekan tombol dan mengisi gelas dengan air. Ia mereguk, lantas mengisi gelas itu lagi, ada empat sampai lima gelas. Dia masih terus kehausan. Dahaga tak hilang. Dia seperti baru saja lari sangat jauh, seperti berjalan di gurun pasir nan gersang dikejar monster unta raksasa berwajah menyeramkan. Mahendra mencari-cari makna perihal mimpi tadi.
Namun, dia senang, dia sembuh. Akhirnya dia sembuh. Dia hendak melakukan tugas baru. Ia mencari bunga, ada bunga kenanga di sebelah barat sumur, pohon kenanga yang dahulu ia gunakan untuk bersembunyi sesaat setelah membakar kasur. Dia memetik bunga kenanga itu, memasukkan ke plastik, lantas ia ingin membeli kelopak mawar, bunga-bungaan untuk nyekar. Dia tak jadi, mengurungkan niat membeli bunga. Dia hanya perlu bunga kenanga saja. Itu sudah cukup. Ada cinta sudah terpendam amat lama, ada kerinduan panjang. Mahendra menuju kamar mandi, membasuh wajah, mencuci kaki, dan berganti pakaian. Dia menyalakan motor, menuju makam.
Sesampai di sana, di samping makam sang ibu, Mahendra merenung lama. Mendoakan sang ibu. Senyumnya terlukis lebar, penuh kebahagiaan. Wajahnya teduh, menatap makam itu. Rasa kangen, terasa menyiksa—tetapi sekarang terobati.
Dia menyapa si ibu, berbicara sendiri di makam tersebut. “Hai, Mama, ibu, mother, biyung, simbok, mami. Izinkan aku memanggil semua sebutan ibu itu. Aku sudah jadi penulis seperti janjiku, aku juga sudah merampungkan kuliah seperti keinginanmu, membuktikan bahwa aku bisa, aku terus menulis, untuk mengobati kesepianku tanpa dirimu. Istirahatlah yang tenang, terima kasih atas doamu untukku, Bu.”