IBU TANPA RAGA

Yusuf Mahessa Dewo Pasiro
Chapter #45

Epilog

Setelah kau menyelesaikan satu buku, kau tahu bahwa kau sudah mati.

-Ernest Hemingway

***

 —Jam berapa dia ditemukan?

Dia diturunkan dari uwungan atau bubungan, tali tambang ditarik, dua warga menahan tubuh Mahendra. Kursi yang ia gunakan untuk pijakan sudah terjatuh. Lehernya terjerat tambang kuat, ia menggantung diri, dini hari tadi. Ya ... sepertinya ditemukan sekitar jam lima pagi, saat penghuni rumah lainnya bangun dari tidur. Kabar itu ramai, dia tidak dibunuh, berita menyebar bahwa ada sastrawan mati gantung diri. Saya mengenal dia orang biasa saja, santai, bahkan saya hanya tahu dia menulis buku. Namun saya tidak pernah membaca karyanya. Saya? Oh, nama saya Iman. Memang saya jarang melihat dia, dia cukup baik, kami hanya bertemu bila saya ke rumahnya untuk membetulkan motor. Adiknya adalah montir. Mahendra memang tak suka banyak hal, terutama rokok. Dia amat membenci asap rokok. Racun? Oh, benar. Ada racun tikus di meja, sebelum bunuh diri dia mereguk racun itu dan menggantung diri. Celananya basah penuh air kencing bercampur mani dan tahi juga. Benar, saya rasa itu saja.

—Kalian adalah para sahabat?

Benar. Kami teman Mahendra, saya Jadmiko, ini Hadi dan Ibnu. Kami saat ini duduk di samping jasad Mahendra yang sudah kaku, sudah dimandikan. Ia ditemukan oleh adiknya—suasana haru pecah, tangisan histeris. Mahendra tidur, tetapi pasti dia melihat teman-temannya—melihat kami datang menemani hari terakhirnya di muka bumi sebelum dipendam dalam tanah kedap teredam dan tak bisa mendengar dunia luar lagi. Kami akan ikut memakamkan dia, setidaknya dia pasti mengizinkan kami untuk menggotong jenazahnya dan kami akan ikut masuk liang lahat untuk membaringkan dia di dalam peristirahatan terakhirnya. Kami kemarin baru saja bercerita bersama, kami mengisahkan pertemuan kami pertama kali dengan Mahendra, perjalanan kami, petualangan kami. Kemarin dia mengamuk membuat berantakan ruangannya kerja, dan Aji menghubungi kami. Untuk sekarang, kami akan tetap menemani dia sampai dikuburkan. Hari ini Sabtu, 18 Oktober 2025. Hari ke 2.192 setelah kematian ibunya. Maaf? Ah, iya. Kami tahu dia suka musik keras, lagu memekakkan telinga, tetapi ada satu lagu keren yang kerap ia putar, lagu berjudul Waktu milik Bondan Prakoso dan Fade2Black. Anda bisa mendengarkan lagu itu sendiri.

—Bagaimana kesehariannya?

Dia pria baik. Tidak senang mengurusi hal tak penting. Dia sering dicari tetangga-tetangga untuk sekadar membetulkan masalah gawai, baterai melembung, sinyal tidak muncul, aplikasi terhapus. Para orang tua biasa bertanya perihal pengoperasian gawai, atau anak-anak mengagumi dia karena dia seorang penulis, suka mengoperasikan komputer—oh, kami tahu dia kalau dahulu pernah menjadi operator warnet. Dan tentu otaknya lebih canggih. Karena kami hanya orang-orang tua, tidak begitu melek teknologi. Kebanyakan kami generasi lama—lawas. Oh? Saya Masiman. Panggil saja begitu. Dia memang jarang terlihat, dan sering menghabiskan waktu di rumah. Paling terlihat kalau bersih-bersih depan rumah, atau saat mencuci baju. Dia lebih sering keluar saat malam hari, para tetangga hafal, dia jarang masak sayur, jadi membeli sayur yang sudah dimasak di warung makan. Atau makan di luar—nasi goreng atau pecel lele. Dia memang sering masak sendiri, tetapi bila terlalu malas atau sibuk menulis, dia hanya pergi ke warung. Tidak, sama sekali tidak, dia tak pernah menunjukkan keinginan untuk mengakhiri hidup. Memang, semenjak kepergian ibunya, dia berbeda, lebih sering mengurung diri, kami hanya tahu kalau dia menulis, sibuk setiap saat. Atau memang sengaja mencari kesibukan. Dia senang berbagi, memberi jajanan, atau apa saja bila dia punya lebih. Tak pernah mengungkit apa saja yang sudah ia lakukan. Oh, itu? Ya. Dia kerap mengikuti donor darah, kalau luang dia juga sering mengunjungi pinggiran sawah, atau pergi memancing. Saya beberapa kali bertemu dia saat dia mancing ikan bersama temannya.

***

Dia melihat orang-orang yang datang ke acara pemakamannya. Mahendra kali ini tidak bermimpi, dia hanya merasa baru saja lahir. Dia menjadi bayi, keluar dari gua garba, menapaki tanah, dan melihat saat dirinya disapih, tak boleh meminum ASI lagi, lantas beralih pada botol susu dengan dot, ia minum susu sapi, sebab sang ibu fokus menyusui adiknya. Bahkan dia ingat pernah meminta pada ibunya agar sang ayah mencari ibu baru lagi, biar dia bisa menyusu juga, tidak hanya Aji. Dia merasa dunianya direbut oleh Aji, ibunya dikuasai Aji saja. Mahendra disapih dengan bratawali dan mahoni pahit, ia jadi tak doyan menyusu lagi, saat itu giginya pongah-joli, ompong tengah mbrojol tahi, itu yang kakeknya bilang.

Mahendra ingat, ia selalu melihat ibunya yang sedang tertidur. Dia selalu melakukan itu sepulang sekolah, sepulang kuliah, sepulang bermain, atau saat mendapati sang ibu tidur pada siang hari saat libur kerja, maupun saat ibunya tidur pada malam hari. Mahendra melihat perut ibunya apakah masih bergerak atau tidak. Ada napas teratur dalam tidur ibunya, ia akan lega. Sebab ia takut kalau ibunya tak bernapas lagi saat tidur. Dia paling takut akan hal itu.

Ingatannya berganti pada saat Aji masih kecil. Sang adik punya kebiasaan bila jatuh ke tanah lalu menangis, berlarian lantas terjatuh—kalau dibangunkan oleh neneknya atau orang lain, ia tak akan mau, malah menjatuhkan diri lagi ke tempat semula. Barulah kalau sang ibu yang membangunkan, maka ia mau berjalan lagi dan berhenti menangis.

Lihat selengkapnya