Ibuku Seorang Rentenir

SerenaClaire
Chapter #1

Bab 1 - Kampung Setan

Nenek bilang kampung ini kampung setan!

Dua ratus meter masuk gapura ada makam desa yang masih ditembok sebagian. Pembangunannya mangkrak, mungkin duitnya masih dipakai alas tidur, nyaman, melelapkan, membutakan mata. Sulit untuk tidak curiga jika berkaitan dengan aparat desa.

Tapi, bukan karena itu. Kalau kamu menganggap kampung ini angker, salah besar. Rupanya setan yang dimaksud adalah penghuni-penghuni sini dengan tabiat buruknya.

Tukang karaoke menyetel musiknya kencang-kencang tiap pagi menuju siang, setiap hari, berhenti kala sakit saja. Tukang gosip membentuk formasi lesehan bundar dan siap memonyongkan bibir hingga pegal. Tukang buang sampah ke tanah tetangga, tukang teriak-teriak pun ada. Tukang pijit, tukang sayur, ada juga tapi mereka baik.

Dari dulu kampung ini dicap pembawa onar, tapi untungnya keluarga nenek tidak pernah ikut-ikutan. Yang buruk biarlah buruk, yang bagus biarlah bagus. Nenek hanya tinggal dengan tenang dan mau dikubur dengan layak, naik kencana putih dengan roda empat manusia. Bukan langsung dilempar ke kuburan ujung kampung sana.

Sarayu pernah mendengar kalimat itu dari neneknya. Di ujung dia tertawa, mana ada manusia mati dilempar begitu saja.

Sarayu Natasha adalah perempuan generasi ketiga.

Masih menghuni rumah peninggalan buyut, di kampung yang dicap Kampung Setan! Dia sendiri tidak suka bergaul dengan orang sini.

Sebab itu tidak ada yang berubah dalam kesehariannya. Sarayu sedang membaca novel terjemahan favoritnya, mengulang lagi. Desiran tipis musik Korea turut andil menciptakan kekuatan kalimat cinta yang tercetak rapi di atas kertas. Ujung bibirnya naik sedikit. Sarayu geli membaca mantra cinta kuno yang diucapkan oleh sang tokoh utama, Jang Min Hyuk.

Tidak ada yang berubah dalam kesehariannya. Sarayu harus mendengarkan dumelan ibunya di pagi hari. Kinerja telinganya seakan terbagi. Kiri untuk mendengarkan musik dan yang kanan terpaksa mendengar suara cempreng tersebut.

Tidak ada yang berubah dalam kesehariannya. Sarayu harus pura-pura dewasa dan mengalah kepada bocah berandal yang saat ini sedang beradu mulut dengan ibunya. Sarayu harus pura-pura tidak mendengarkan meski gelombang suara itu menyelinap dengan jelas ke dalam kamarnya.

Mungkin hanya satu yang berubah dalam hidup Sarayu hari ini. Dia bertekad tidak akan kembali. Dia ingin segera pergi dari rumah dan merantau untuk menjalani aktivitasnya sebagai mahasiswa baru. Sarayu merasa stres tiap kali ibunya berteriak kepada bocah berandal yang piawai merusak ketenangan rumah.

Niatnya terdengar bodoh. Tapi dia bersungguh-sungguh. Untuk saat ini. Tidak tahu bagaimana nanti.

Plot twist-nya rencana itu akan terealisasikan tahun depan. Sekarang masih 2017, mau menginjak kelas 12. Desahan kesalnya terdengar kala memandangi kalender partai.

“Sarayu!” Pintunya digedor-gedor.

“Sarayu!” Lagi.

“Apa?” tanya Sarayu malas.

Bocah berandal itu menyengir ke arahnya ketika pintu terbuka.

“Bagi duit!”

“Malak?”

“Minta.”

“Minta saja sama ibu. Kenapa harus ke aku?”

Tangan Sarayu mendorong pintu, tapi kaki bocah berandal itu langsung menendangnya. Mata Sarayu membulat kaget. Bocah di hadapannya ini membuatnya kesal.

“Tidak ada!” teriaknya tegas dan kemudian benar-benar menutup pintu.

Sarayu menguncinya. Menaikkan volume musik dan duduk di tempat semula. Jang Min Hyuk yang konyol berhasil membuatnya tersenyum lagi. Di luar sana si bocah berandal masih berusaha menggedor-gedor lagi pintunya. Namun, Sarayu tak lagi peduli. Jang Min Hyuk adalah prioritas.

Bocah berandal itu adalah Johar. Anak tengah, adik lelakinya yang suka menghabiskan uang. Umurnya cukup belia bagi seseorang yang bisa menghabiskan uang seratus ribu sehari. Untuk seukuran dia. Yang tinggal di kampung seperti ini. Sarayu sangat membencinya, tapi tak ada lagi yang bisa dilakukan selain mengalah.

Ibunya kerap kali diancam. Johar akan bersumpah untuk minggat jika sakunya tidak dipenuhi uang. Ibu tetap memberi meski harus ngomel-ngomel sebentar. Sarayu iri, tentu saja. Dia ingin protes. Dia juga gadis muda yang butuh banyak uang untuk mempercantik diri. Akan tetapi, dia tersadar bahwa dalam satu keluarga jika sudah ada bajingan maka yang lainnya tidak boleh menjadi itu. Sarayu berusaha menyeimbangkan energi di dalam rumah.

Suara yang menyambar permukaan pintu berhenti. Johar sudah menyerah.

Sarayu menutup bukunya dengan kesal. Mengecilkan volume musik. Baru saja bernapas lega, sebuah ketukan kecil kembali menyambar pintu. Sarayu menoleh.

“Sarayu, keluar sebentar!”

“Ada apa, Bu?”

Kepalanya sudah nongol dari balik pintu.

“Bantu ibu mengemas sisa pakaian nenekmu dan antarkan sekarang!”

Anggukan kecil disertai gelombang di bahu, Sarayu setuju. Memang benar anak perempuan itu tidak pernah punya waktu leyeh-leyeh, selalu saja ada tugas rumah yang berteriak-teriak minta dikerjakan.

Sarayu menjejali sebuah tas kain berwarna cokelat kotor dengan pakaian nenek yang tertinggal. Dia tidak pernah bisa menggerutu atau protes, semuanya dilakukan tanpa sebuah emosi. Kosong, seperti robot.

Tangannya mendorong potongan kebaya tua terakhir lalu menarik resleting dengan sekuat tenaga. Sarayu mengadu kedua telapak tangannya dan duduk di pinggiran ranjang sembari refleks memijit pinggangnya. Banyak juga ternyata pakaian nenek.

Ditentengnya tas itu keluar lalu mengunci pintu. Bantal, guling, kasur sudah ditimpa kain putih agar tidak kotor sebab ruangan itu tak lagi digunakan. Tapi aroma minyak kelapa nenek pasti masih terus menempel di dinding.

Nenek belum meninggal.

Jahat sekali menebaknya begitu.

Nenek pindah rumah. Tinggal bersama budhe sudah seminggu lalu. Budhe Marni bersikeras membawa ibunya pergi karena suaminya baru saja dapat uang terabasan. Rumah mertuanya disahut dengan harga mahal untuk pembangunan perumahan elite. Suaminya kena ceperan gede karena anak tua. Budhe Marni yakin uangnya sangat cukup untuk mensejahterakan dua anaknya, menghidupi nenek dan berbakti di usia tua.

Itu bagus, toh ekonomi keluarga Ibu tidak begitu baik. Tapi Ibu seperti berat melepas nenek, maklum dia anak yang sangat disayang nenek.

“Kunci motor ke mana, Bu?”

“Dibawa bapakmu ke pak Nawar. Pakai ontel ibu saja sekalian olahraga.”

Ujung mata Sarayu melirik ontel tua itu, warna hijau, sudah berkarat, keranjang depannya reot berwarna abu-abu. Dia mengambil tali dari ban bekas untuk mengikat tas tersebut di bagian boncengan.

Lihat selengkapnya