Obrolan yang Bapak buka malam itu menimbulkan suasana rumah yang kurang nyaman hingga detik ini. Beberapa hari berlalu dan Ibu masih tidak ingin diajak membahas soal merantau, sementara Bapak berusaha mencari alasan untuk membicarakannya.
Mulut Ibu terus menggerutu tentang keputusan Bapak dan berhasil membuat telinga semua orang seperti berdengung. Mulai memasak di dapur hingga menyapu halaman rumah dari dedaunan kering dari pohon tetangga, Ibu masih konsisten mengoceh menolak rencana merantau itu. Ibu tetap mengatakan Bapak tidak sayang keluarga sehingga ingin merantau.
Biasanya kalau Ibu sudah mengoceh, nenek yang akan menetralkan energi buruk di dalam rumah. Namun, kini nenek sudah tinggal bersama budhe, jadi tak ada seorang pun yang mampu menghentikan Ibu.
Bapak hanya bisa menggeram dengan rahang yang menegang. Bapak adalah orang yang bisa sabar, tapi kalau marah juga seram. Itu adalah dua sifat yang sangat berlainan. Untuk saat ini Bapak lebih banyak menekan emosinya menjadi sabar yang mungkin saja bisa melunakkan hati Ibu.
Setiap kali ibu marah-marah, Bapak hanya bisa menggeleng kepada Sarayu. Mungkin Bapak malu jadinya.
Sarayu mengerti, dia juga tidak berani membalas ucapan Ibu. Dibiarkanlah ibunya berbicara kepada dirinya sendiri sampai lelah pada waktu yang tak ditentukan.
Tiba lagi malam ini. Makan malam keluarga dengan lauk seadanya. Tempe penyet dengan sambal khas buatan Ibu, yang tadi saat dimasak aromanya menyeruak ke hidung dan membuat bersin-bersin.
“Wah, enak ini. Penyetan favoritku,” ungkap Bapak.
Ibu malu-malu kucing mau tersenyum dengan pujian itu, tapi diubahnya menjadi respon yang cukup ketus, “Kalau kamu merantau, kamu tidak akan pernah mencoba penyetan ini lagi.”
Situasi menjadi canggung. Sarayu tak ingin ada perdebatan tak mengenakkan itu lagi.
“Johar, letakkan ponselmu dan cepatlah ambil nasi,” kata Sarayu sembari menciduk nasi ke piring Bella. Sampai selesai dilakukan, Johar masih tidak merespon. Sarayu langsung menyahut ponsel tersebut dengan paksa. “Makan dulu.”
“Sarayu kembalikan!”
Bapak berdecak kemudian berdesis sembari sedikit mendelik. “Johar, panggil dia kakak. Kamu selalu diajari untuk sopan, tapi tetap saja bandel.”
“Lihat dia, Pak!”
“Sudah benar apa yang dilakukan kakakmu itu. Sekarang waktunya makan, bukan bermain.”
Sepanjang makan malam itu Bapak terus memuji kalau penyetan buatan Ibu sangatlah nikmat, diselingi kalimat, “Nanti aku pasti rindu ini di perantauan.” Lalu mata Bapak melirik Ibu yang sama sekali tidak ingin merespon itu.
“Beruntungnya aku bisa makan penyetan seenak ini,” ucap Bapak lagi. Menggoda, memuji, sekaligus mencuri perhatian Ibu.
“Apa yang mau kamu janjikan ketika pergi merantau?” tanya Ibu.
Bapak berhenti mengunyah nasi campur penyetan yang telah bersatu dalam mulut saking kagetnya. Pelan-pelan mulutnya bergerak lagi dan menelan nasi itu dengan susah payah, sulit sekali seperti menelan batu. Matanya masih menyorot ke arah Ibu.
Tiba-tiba saja Ibu bertanya demikian.
“Apa yang kamu janjikan ketika pergi merantau?” tanya Ibu lagi, kali ini dengan menatap Bapak.
“Uang. Aku akan mengirimi kalian uang setiap bulan yang pastinya lebih banyak dari sekarang.” Mata Bapak berbinar kala mengatakannya, “dan tentunya aku bisa menabung lebih banyak untuk biaya kuliah Sarayu nanti.”
Gadis bernama Sarayu terkejut, bibirnya diam-diam menyungging ke atas. Ibu hanya melirik.
“Pergilah jika itu maumu,” ucap Ibu yang diakhiri helaan napas.
Semua orang terkejut mendengarnya, terutama Bapak yang merasa begitu senang karena telah mendapatkan izin yang selama ini ditunggu-tunggunya. Bapak rela mengabaikan nasi penyet paling lezat sedunia demi memegang tangan Ibu, masih dengan sisa sambal yang menempel di tangan.
“Risanti, terima kasih. Terima kasih telah mengizinkanku, aku berjanji akan menghasilkan uang yang banyak. Keluarga kita akan membaik nantinya.”
“Tapi kamu janji jangan pernah berselingkuh dariku.”
Bapak mengangguk antusias. “Aku berjanji,” serunya dengan semangat. Bapak sekarang menatap anak sulungnya. “Sarayu, kamu bantu-bantu ibu ya jika bapak pergi nanti.”
“Iya, Pak. Aku akan membantu ibu.”
***
Hari di mana Bapak pergi, Ibu hanya mengantar sampai ke depan pintu karena Bapak dijemput oleh temannya menggunakan mobil sewaan menuju bandara. Ibu berpura-pura tersenyum dan tegar saat melepas Bapak.
Tapi setelahnya Ibu kebanyakan melamun. Beberapa kali menatap kursi yang dulunya Bapak sering duduk di sana sembari menyebat rokok, lalu ada secangkir kopi hitam tanpa gula yang ditaruh di atas meja. Bapak menyesapnya kemudian lanjut merokok. Sekarang adegan itu tidak lagi disaksikan oleh Ibu. Mungkin karena itu sering melamun, sebab rindu.
“Kapan rapormu diambil?” tanya Ibu begitu Sarayu masuk ke dalam rumah.
“Besok, Bu,” jawab Sarayu. Dia ikut duduk di sofa tempat Bapak biasanya.
“Mana undangannya?”
Sarayu sibuk membongkar isi tasnya untuk menemukan undangan yang menyelip di antara lembaran buku. Lupa tadi dia selipkan di buku apa. Setelah beberapa saat undangan itu akhirnya ketemu juga. Sarayu menyerahkannya kepada Ibu.
Ibu membaca undangan itu dengan ekspresi datar.
Sarayu memainkan kuku jarinya. Dia selalu cemas di hari-hari mendekati pengambilan rapor. Memang dia selalu mendapatkan ranking satu, tapi kejadian waktu SD di mana dirinya menjadi ranking tiga langsung membuat Ibu seperti orang kesetanan, marah-marah tak kenal waktu. Kejadian itu membuatnya cukup trauma di hari-hari seperti ini.
Bagaimanapun juga Sarayu tahu kalau Ibu adalah orang paling emosian di rumah. Tidak ada Bapak dan nenek, membuatnya seperti tak punya benteng pertahanan. Kepada siapa dia akan bersandar, siapa pula yang akan membelanya nanti. Tidak ada.
***
Sejak kemarin sore Sarayu mencemaskan hari ini. Semalam waktu tidur, sebenarnya hanya formalitas kala matanya terpejam, tapi pikirannya terus berbisik sesuatu yang membuatnya gelisah, gugup, khawatir, dan tentu saja takut.
Berbeda dari hari penerimaan rapor biasanya, kali ini kecemasannya menumpuk dua kali. Ditambah dia belum sarapan karena tidak nafsu makan, perasaan bercampur aduk menyelimuti dirinya. Sarayu tidak mengenal siapa dirinya sekarang.
Tentu saja hari ini tidak ada pelajaran, semua murid bebas melakukan apa saja asalkan tetap berada di kelas dan tidak berkeliaran selama orang tua mereka berkumpul di aula untuk melakukan pengambilan rapor satu angkatan.
Terduduk di kursinya, Sarayu menggigiti kuku jari tanpa sadar sampai menimbulkan suara yang cukup mengganggu di telinga Nabila. Sahabatnya itu menegur dengan menepuk pundaknya, tapi Sarayu langsung menjingkat seperti nyawanya sedang dicabut oleh malaikat.
“Sarayu, kamu kenapa?” tanya Nabila keheranan.
Gadis itu menggeleng. “Tidak apa-apa.”
“Takut ranking kamu turun?” Pertanyaan Nabila membuat Sarayu menoleh, tapi masih bungkam. “Sudahlah, buat apa dicemaskan. Hidup tidak bergantung pada ranking,” katanya. Seolah bisa menebak isi pikiran temannya.
“Iya, Sarayu. Santai saja,” sahut Mahendra. Sahabatnya yang lain.
Sarayu menatap sahabatnya satu-persatu kemudian tersenyum kecil. Setidaknya dia sudah membuang satu persen masalahnya setelah ditenangkan oleh mereka berdua. Sarayu, Nabila, dan Mahendra, adalah sepasang sahabat yang bertemu di waktu MOS dulu. Hidup Sarayu pasti akan monoton tanpa adanya mereka.
Mahendra mendorong permen karet yang ada di atas bangku ke hadapan Sarayu. “Makanlah satu. Permen karet bisa mengurangi perasaan cemas.”
“Aku mau satu!” seru Nabila sembari menyahut permen karet itu ketika Sarayu hendak mengambilnya.
Nabila terlihat kesulitan mengeluarkan sebiji permen karet dan membuat Sarayu tidak sabar. Alhasil Mahendra menyahut paksa dan membantu menyobek pembungkusnya. Dia membagi satu kepada Sarayu kemudian Nabila.
“Bagaimana, lumayan, kan?” tanya Mahendra.