Sarayu bertanya. Di mana ibunya malam ini, mengapa belum juga kembali ke rumah.
Semesta menjawab dengan guyuran air yang sangat deras. Suara rintik yang berbenturan dengan galvalum terdengar sangat nyaring. Seisi rumah seperti mendengar pertunjukan musik saat hujan datang. Apalagi hujannya deras, suara mereka bisa kalah.
Kepala Sarayu melongok keluar. Matanya jeli memperhatikan jalanan kampung yang sepi dan terkesan seram. Tak ada tanda-tanda ibunya akan datang dari arah barat untuk sampai di rumah. Helaan pelannya terembus, Sarayu memutuskan menutup lagi pintu dan menunggu ibunya sembari berbaring di sofa.
Ibunya, yang bernama Risanti itu sedang terjebak hujan.
Saat ini Ibu berusaha untuk menepi di depan toko yang sudah tidak lagi beroperasi. Ada aroma usang yang masih terhirup oleh hidungnya. Tangannya mengibas berulang kali pada kain bajunya, mengusir buliran air yang menempel pada serat-serat pakaiannya yang terbuat dari linen.
Ibu menggerutu. Kakinya mundur sejengkal karena hujan semakin deras dan cipratannya mengenai kaki. Entah mengapa dia masih sempat memaki-maki hujan yang datang tanpa peringatan, seharusnya dia mencari cara untuk pulang. Mungkin, sekarang hujan sedang menertawakannya.
Tangan Ibu memeluk lengannya yang mulai dirasuki hawa dingin. Semakin tidak tertahankan.
“Kapan hujan ini berhenti,” gerutunya berulang dengan kalimat sama.
Ibu mau pulang!
Pikirannya sudah lebih dulu berlari ke rumah.
Tapi, Ibu tidak sedang cemas soal Bella yang masih kecil di rumah, ataupun dua anak lainnya. Ibu hanya merasa tidak nyaman dengan kondisi basah seperti ini. Demi apa pun dia suka kondisi ‘kering’. Ibu ingin segera berada di rumah untuk mandi, berganti pakaian, dan menikmati semangkuk mi rebus. Sungguh, sama sekali dia tidak memikirkan anaknya.
Satu sisi, Ibu juga tidak mau menerobos hujan dan menjadi lebih basah lagi. Bisa-bisa mood-nya hancur berantakan. Berdiri menengadah dengan bibir yang mengumpat, sementara otaknya terus bertanya, “Kapan hujan ini akan berhenti?”. Untuk beberapa saat dia nyaman dengan posisi seperti itu.
***
Mata Sarayu terus menyorot ke arah pintu yang belum juga ada pergerakan dari luar. Dia sudah berusaha menghubungi ponsel ibunya tapi tak ada respon. Sarayu penasaran, sedikit cemas, di manakah ibunya sekarang ini. Apa yang dilakukannya. Apakah hujan mengkerangkeng langkahnya di suatu tempat, sebab dia tahu ibunya tidak suka hujan.
Mau keluar mencari pun dia tidak tahu tujuan awalnya ke mana.
Sarayu mondar-mandir menunggu kedatangan ibunya. Ponselnya belum juga bisa dihubungi. Tidak biasanya Ibu keluar malam-malam seperti ini. Entah mengapa orang sebegitu mudahnya berubah. Ibu yang tadinya betah di rumah sekarang malah suka keluar. Dan Sarayu tidak pernah diberitahu soal pekerjaannya dengan Bu Jarna. Sarayu cemas kalau itu adalah pekerjaan yang buruk.
Saat malam semakin memeluk, hujan perlahan memudar. Menyisakan bulir-bulir air yang menempel di mana saja. Lalu satu ketukan pintu berhasil membuat Sarayu lega. Dia berpikir itu adalah ibunya. Pintu dibuka dan Ibu terlihat masam sekali wajahnya.
“Ibu baik-baik saja?”
“Kamu lihat saja sendiri,” jawabnya tak bernafsu. Dari nadanya Ibu seperti malas berbicara.
“Aku ambilkan handuk sebentar.”
“Tidak perlu,” ucap Ibu ketika Sarayu hendak berlari ke belakang. “Ibu mau langsung mandi saja.”
Sarayu mengangguk. Dia mengunci pintu. Ibu tetiba menoleh saat berjalan masuk ke dalam rumah. “Masakin ibu mi kuah, cabenya satu.”
Sarayu mengangguk lagi.
Sementara Ibu sedang sibuk di kamar mandi, Sarayu memasak air untuk merebus mi. Tangannya memutar tuas kompor dan kini beralih membuka lemari penyimpanan. Mengecewakannya, dia tidak menemukan satu bungkus mi pun. Sarayu mengeluh.
Dia memanggil adiknya. “Johar! Johar kemari.”
Setelah mengulangi kalimatnya, adik laki-lakinya itu muncul dengan tatapan yang tak beralih dari ponsel. Sarayu ingin merebut ponsel itu agar adiknya fokus, tapi dia tidak mau menimbulkan kegaduhan malam-malam.
“Johar.”
“Hm.”
“Johar.”
Bocah lelaki itu berdecak dan terpaksa menatapnya. “Apa sih? Mengganggu saja.”
“Belikan mi ke depan, Ibu mau makan mi.”
“Malas, ah,” jawab Johar secepat mungkin kemudian pergi dari dapur, masuk ke dalam kamar, dan kembali mengoceh dengan teman virtualnya.
Ya, Sarayu salah telah menaruh harapan kepada adiknya. Kompor dimatikan saat air hampir mendidih. Sarayu bergegas pergi ke warung kelontong milik tetangga yang hanya berjarak beberapa rumah.
Begitu kembali dia langsung menyalakan lagi kompor. Dilihatnya kamar mandi sudah kosong, dia kalah cepat dengan ibunya. Sarayu cekatan menuang perbumbuan ke dalam mangkuk sembari menunggu mi direbus setengah matang, favorit Ibu seperti itu.
Syukurlah ketika Ibu kembali ke dapur, mi sudah matang dan langsung bisa dinikmati oleh Ibu. Wanita tiga anak itu terlihat sangat menikmati mi buatan Sarayu.
Gadis itu duduk berhadapan di meja makan.
“Bu,” panggil Sarayu. Ibu hanya menatap sembari menyeruput kuah mi. “Ibu seharian pergi ke mana? Pekerjaan dari bu Jarna itu pekerjaan apa?”
“Ibu sudah pernah bilang waktu itu.”
“Penagih utang? Tapi untuk apa, Bu. Bapak kan sudah mengirimkan uang. Aku tidak suka Ibu bekerja seperti itu apalagi bergaul dengan ibu geng berdaster.”
“Jangan suka ikut campur urusan orang tua, Sarayu.”
“Bu, aku—”
“Ibu hanya menagih utang ke orang-orang yang meminjam dari bu Jarna. Nanti bu Jarna memberi ibu upah. Sudah begitu saja, apa yang perlu diributkan.”
Sarayu menimang-nimang kalimat di dalam pikirannya. “Bu Jarna itu rentenir terkenal, Bu. Aku hanya tidak ingin Ibu terkena masalah karena bekerja sama dia.”
Ibu mengangkat mangkuknya untuk menyeruput kuah terakhir, lalu sedikit menggebrak mangkuk ke meja. “Sudahlah, Sarayu, tidak ada yang perlu dicemaskan. Ibu baik-baik saja.”