Ibuku Seorang Rentenir

HANNARÉIN¹⁷
Chapter #4

Bab 4 - Pengkhianat Terdekat

Pengkhianat itu paling dekat dengan kita. Siapa yang percaya? Semua orang termasuk Ibu, Sarayu, Johar, dan Bella. Lantas siapa yang dimaksud. Perlu berpikir? Jelas Bapaklah oknumnya. Yang tidak pernah kasih kabar seperti merantau ke jaman dulu. Hilang bak ditelan bumi yang lapar. Mengecewakan semua orang seperti kriminal tak berperasaan.

Bapak ke mana?

Apa yang terjadi?

Sesuatu menimpanya?

Bukan itu yang menjadi pertanyaan Sarayu, melainkan yang keluar dari mulutnya adalah serangkaian kalimat ketakutan yang meremas tubuhnya. Nyalinya menciut. Menelan kepahitan seorang diri membuatnya ingin memuntahkan isi perut yang mengaduk-aduk. Sarayu tidak kuat.

“Bapak, tolong kembali. Ibu bukanlah Ibu, aku tidak bisa bertahan sendirian. Aku tidak bisa berkorban bagi semua orang. Bapak, pulanglah, kembalilah, perbaikilah kekacauan di rumah ini.”

Secarik rintihan Sarayu tiap kali hatinya tidak kuat menahan semua beban yang terjadi.

Bulan-bulan pertama semuanya lancar, aman, uang dari rekening Bapak mengalir seperti air. Dia orang yang tidak pernah pelit dengan keluarga sehingga Ibu pun senang kala menerima uang. Jadi Ibu juga bisa beli pakaian yang sedang dibicarakan geng ibu-ibu berdaster.

Namun, beberapa bulan terakhir uang yang dikirim terasa seret, seperti rantai sepeda tanpa pelumas. Ibu sempat bertanya apakah ada kesulitan di Kalimantan, Bapak bilang tidak perlu dipikirkan.

Seakan sebuah pola yang klise, lama-lama Bapak tak ada kabar dan resmi menghilang meski tanpa surat pemberitahuan. Ibu menghubungi istri rekan Bapak, tapi nomornya tidak aktif dan Ibu tidak tahu di mana tempatnya tinggal. hari-hari Ibu dipenuhi dengan kecemasan, takut suaminya berselingkuh, takut suaminya mati, takut suaminya tidak pernah kembali lagi. Ibu sangat mencintai Bapak, dengan kejadian ini kepercayaannya serasa dikhianati.

Ibu bukanlah Ibu. Lebih parah lagi. Setiap hari mencak-mencak seperti orang kesetanan, marah-marah dengan mata melotot sampai suaranya menyusut, serak terbatuk-batuk. Dadanya kembang kempis, semua orang dimarahi meski tanpa kesalahan.

Mereka semua adalah pelampiasan Ibu. Sarayu telat menyapu saja dimarahi, Bella cukup lama di kamar mandi saja dibentak, dan Johar yang minta uang juga diserang habis-habisan. Namun, Johar bisa membuat pilihan untuk melarikan diri dari rumah. Sedangkan Sarayu dan Bella tidak bisa, lalu itu sangat menyiksa. Untungnya Ibu tidak membanting perabotan, hanya mengeluh, mengoceh, mengomel.

Nenek tidak tahu soal hal ini. Entah seberapa kagetnya kalau sampai mendengar. Ibu masih merahasiakan soal Bapak dan melarang Sarayu memberitahu siapa pun.

Untungnya lagi keluarga ini tidak mengenal budaya minum-minum saat stres, seperti yang biasa terlihat di film. Hanya ya begitu, gendang telinganya harus dikuat-kuatkan.

“Bu,” panggil Johar yang baru datang dari luar rumah, “mau minta uang buat beli bola.”

Anak tidak tahu diuntung memang! Tidak mengerti situasi dan kondisi.

Ibu yang saat itu sedang melipat pakaian di sofa ruang tamu seketika langsung membanting pakaiannya ke meja. Matanya menyulut tajam. “Uang lagi, uang lagi, kamu tidak tahu kalau bapakmu tidak kirim uang?”

“Ayolah, Bu. Ditunggu teman-temanku,” rengeknya.

“Johar,” desis Sarayu yang saat itu membantu Ibu melipat pakaian.

Bocah itu melirik sinis ke arah kakaknya. “Apa sih, Mbak.” Johar menghadap Ibu lagi dan merengek, “Bu ….”

“Tidak ada!” bentak Ibu yang langsung membuat jantung Johar melompat keluar dari tempatnya, begitu juga dengan Sarayu yang terkaget-kaget.

“Setan! Minta duit saja tidak boleh,” spontan Johar yang langsung pergi keluar dan membanting pintu sekeras mungkin, disengaja.

Ibu memegangi dadanya yang berdenyut-denyut, tangannya gemetar, deru napasnya terdengar kasar. Gadis yang duduk di sampingnya itu hanya bisa membungkam mulutnya dan terus menggerakkan tangannya dengan pola berulang untuk melipat pakaian.

Sarayu tak berucap bukan karena tak peduli, bersuara hanya membuat Ibu semakin emosi. Ini sudah biasa terjadi, sebab itu Sarayu mengerti hal apa yang paling tepat dilakukan. Sebenarnya dia tak tahan duduk di sana, maka dari itu dia mempercepat pekerjaannya.

“Kurang ajar sekali adikmu itu,” ucap Ibu tiba-tiba setelah napasnya stabil. Pakaian yang tadi dibanting ke meja, dipungut lagi untuk dikaitkan kancingnya, dipapar di atas meja dan mulai melipat masing-masing lengan, lalu di lipat lagi dua kali menjadi kotak-kotak rapi.

***

Tampaknya Ibu juga sedang menciptakan kewarasannya sendiri, dia mencoba menghibur diri. Ibu melarang siapa pun membicarakan tentang Bapak ketika berada di rumah. Sudah tidak ada lagi makan malam seperti dulu, selain karena Ibu selalu pulang malam, pun tak ingin mengingat kenangan yang banyak diukir bersama Bapak.

Sarayu beberapa kali melihat Ibu tertawa lebar bersama geng ibu-ibu berdaster. Tenggorokannya serak, tak kuasa lagi dia memperingati Ibu soal pergaulan buruk itu. Yang pasti Sarayu harap, Ibu tidak membawa hal buruk apa pun ke rumah setelah bertemu mereka. Agar tiga orang anak yang di rumah tidak terkena imbasnya.

Mungkin dengan Ibu menemukan kebahagiaannya sendiri, suasana rumah yang amburadul menjadi damai lagi. Setidaknya ketika Ibu tak lagi teringat soal Bapak.

Semakin hari rumahnya berubah menjadi sebuah gardu, tempat nongkrong geng ibu-ibu berdaster berpindah ke rumahnya. Gemuruh tawa yang melengking bahkan terdengar sampai ke dapur, padahal mereka mengobrol di teras rumah.  Sarayu tidak pernah memprotes hal itu kepada Ibu, dia tidak mau menimbulkan kegaduhan di rumah meskipun dia tidak nyaman di tempat tinggalnya sendiri.

Sore itu Nabila tiba-tiba datang ke rumah. Sarayu tidak diberitahu sebelumnya.

“Sarayu, ada temanmu!” teriak Ibu dari teras rumah.

Dari arah dapur, Sarayu mendengar suara itu. Dia sedang memberi makan Bella–yang saat itu baru saja pulang ngaji. Sarayu bergegas ke depan.

Nabila melambai ke arahnya. Sarayu celingukan mencari tahu apakah temannya itu datang sendirian. Rupanya Mahendra tidak ikut. Sarayu menyeret tangan Nabila untuk masuk dan langsung menutup pintu agar rumpian ibu-ibu itu tidak masuk ke dalam telinga.

“Ada apa kamu datang ke mari?”

“Itu kenapa banyak ibu-ibu yang berkumpul di rumahmu?”

Lihat selengkapnya