Ibuku Seorang Rentenir

SerenaClaire
Chapter #5

Bab 5 - Bisnis Haram

Kata Ibu, dia dipercaya Jarna untuk memegang wilayah ini. Sementara Jarna mencoba merambah ke desa-desa lain. Membuat cabang bisnis haramnya dengan begitu percaya diri, entah di mana letak kesadaran otaknya.

Ah, lupa. Sebagai lintah darat ternama, dia menyekolahkan anaknya ke pondok. Anak kedua dan ketiga. Orang tua yang membawa anaknya ke pondok berharap bahwa sang anak bisa mendapatkan pelajaran agama yang akan berguna bagi hidupnya, tentu saja lebih pandai mendoakan orang tuanya, baik semasa hidup maupun ketika mati nanti. Akan tetapi, jika biayanya dibayar dengan uang panas, bukankah otak-otak mereka tidak akan menyerap ilmu agama itu?

Dunia aneh, tapi kalau tidak aneh maka bukanlah dunia. Semesta ini memiliki porsi, antara orang cerdas, bodoh, waras, gila. Dan Sarayu ingin mengumpat kepada orang konyol dan gila itu, yang bodoh sekali pemikirannya. Dia mengira Tuhan bisa disogok dengan barang haram.

“Sarayu!” geram Ibu seraya menahan tangannya dengan erat. Lengan Sarayu menggeliat minta dilepaskan, tapi tangan Ibu seperti besi yang memborgolnya. “Kamu mau ke mana? Pulang sekarang kalau tidak mau ibu menyakitimu.”

Namun, setelah mengerahkan seluruh tenaga, Sarayu berhasil meloloskan diri dan mempercepat langkah larinya.

Sarayu mengetuk pintu, tidak, lebih tepatnya menggedor-gedor seperti tingkah Jarna saat menagih utang kepada nasabahnya yang nakal.

Ibu berada di luar pagar, tak kuasa menyeret Sarayu menjauh dari sana. Dia kepalang malu dan takut kalau Jarna keluar dari pintu rumah tersebut.

Anaknya yang paling bungsu, laki-laki seusia Johar, keluar dengan wajah penuh tanda tanya.

“Di mana ibumu?” sergap Sarayu.

“Di–di dalam,” jawabnya sedikit gagap sembari menunjuk.

Sarayu celingukan menyorot ke dalam. “Panggilkan!”

Tak lama setelah itu Jarna keluar dengan tampang seadanya. Dasternya tidak rapi, rambutnya berantakan, tangannya memegang ponsel. Sarayu menduga ibu empat anak itu baru saja menonton televisi sembari bermain ponsel–mengabari para debiturnya untuk membayar tunggakan tepat waktu.

“Bu Jarna, jangan mengajak ibuku ke dalam hal-hal yang buruk.” Emosi Sarayu sama sekali tidak bisa ditahan. Dadanya naik turun setelah berhasil mengatakan hal tersebut.

“Apa maksud kamu Sarayu?” Jarna menengok keluar pagar dan melihat Ibu. Dia beralih kepada Sarayu. “Apa yang telah kuperbuat kepada ibumu?”

“Ibu telah menjadikan ibuku seorang rentenir!”

Bu Jarna menarik senyuman sudut. Tampaknya dia geram dengan sosok di luar pagar itu. “Kamu tidak mau masuk ke sini? Beraninya membiarkan anakmu marah-marah kepadaku.”

“Maafkan aku,” ucap Ibu dengan gugup, “Sarayu hanya belum kuberitahu jadi dia marah. Maklum remaja perempuan emosinya suka tidak stabil.” Wajah Ibu dihiasi dengan senyuman kaku yang sengaja dipaksakan.

“Bu …,” lirih Sarayu.

“Maaf Bu Jarna, aku berjanji akan memberinya pelajaran.”

“Bu katakan kalau Ibu akan berhenti,” ucapnya lagi dengan suara pelan penuh harap.

Ibu hanya pura-pura tidak mendengar. Dia sibuk mengambil kembali hati Jarna yang tampaknya telanjur kecewa. Ibu menggandeng tangan Sarayu dan meremasnya begitu kuat sampai gigi-giginya berbenturan. Ibu meminta maaf kepada Jarna sampai menundukkan kepalanya beberapa kali. Sarayu muak, tapi tidak banyak yang bisa dia lakukan. Otaknya sudah tidak bisa berpikir dengan jernih lagi.

“Kamu tidak tahu dikasihani memang,” dengus Jarna kepada Sarayu sesaat sebelum masuk ke dalam rumah dan membanting pintu.

Ibu segera menyeret Sarayu pulang. Dalam perjalanan, banyak sekali pasang mata yang mengintip dan telinga-telinga nakal yang menguping mereka. Ibu mengoceh sepanjang jalan tentang kesalahan terbesar yang dibuat Sarayu hari ini. Gadis itu hanya bisa pasrah diseret kembali ke rumah.

Tangan Sarayu dilempar hingga tubuhnya terhuyung mundur.

“Dasar anak tidak tahu diuntung! Memangnya kamu bisa mencari nafkah? Seharusnya kamu menghargai ibumu yang mencari uang untukmu makan dan sekolah. Ibu sendirian, tidak ada yang peduli, termasuk kamu. Setiap hari kamu hanya bersenang-senang di sekolah, kamu tidak tahu apa yang ibu lakukan demi selembar uang,” berang Ibu dengan nada suara yang serak-serak murka.

“Aku tidak mau keluarga ini dicap buruk, Bu. Aku tidak mau dicap sebagai anak rentenir?”

“Memangnya kenapa. Apa pedulinya orang lain terhadap keluarga kita. Cukup abaikan dan jangan didengar. Memangnya mereka mau menanggung biaya hidup kita?”

Sarayu terisak. Buliran bening meluncur deras membasahi pipinya yang putih bersih. Hatinya remuk bagaikan kaca yang diketuk palu. Suara Ibu yang meninggi masih bergema di telinganya. Setiap kata yang keluar dari mulut itu bagaikan duri yang menusuk-nusuk. Tak ada tempat untuk mengaduh selain kepada dirinya sendiri, selain hanya bisa memeluk kakinya sendiri dan menangis tersedu-sedu.

Uang disembah, yang halal diharamkan, yang buruk dinormalisasikan. Siapa lagi pelakunya kalau bukan manusia. Dan mendapati kenyataan bahwa manusia itu adalah ibunya, membuat Sarayu frustrasi. Dia ingin memiliki keluarga yang baik, kehidupan yang tenang dan mengalir. Agar bisa berbahagia.

Lihat selengkapnya