Seseorang mengatakan bahwa bersedekah itu penting, sebagai bentuk terima kasih kepada Tuhan, tapi menurut orang-orang dia sendiri tidak pernah bersedekah. Hanya omong kosong saja. Namun, tak ada yang tahu kebenarannya apakah dia hanya membual atau memang benar melakukannya. Selama ini tidak pernah terdengar namanya menyumbang uang saat salat Jumat, atau namanya dipanggil saat qurban Idul Adha. Dia pemilik toko terbesar di desa, yang semakin hari menjadi juragan tanah, anak-anaknya sukses. Hal ini membuat orang menimbang-nimbang lagi untuk mencurigainya tidak pernah sedekah, secara hartanya terus menggunung.
Kini kaki Sarayu sedang melangkah menuju toko sembako tersebut. Sehabis Magrib kampung ini cukup sepi tidak seperti sore tadi yang serupa pasar malam. Dan beberapa kampung lainnya. Bella ada di rumah bersama Ibu karena pekerjaannya sudah selesai, tapi Sarayu tidak disuruh Ibu, dia hanya inisiatif pergi sendiri untuk membeli keperluan rumah yang telah raib dari tempatnya. Yang peduli soal rumah hanyalah Sarayu, gadis remaja yang dipaksa menjadi seusia dewasa layaknya orang paling banyak umurnya di rumah.
Tiga bungkus mi instan goreng, dua bungkus mi instan kuah, seperempat telur, satu renceng penyedap rasa, satu renceng sampo, dan sebungkus sabun. Penjaga toko itu membacakan pesanan Sarayu sembari memasukkannya ke dalam kantong, lalu dia menjumlahkan harga belanjaan yang telah ditulis di kertas. Modelnya memang masih konvensional, tidak menggunakan alat pemindai maupun aplikasi kasir.
“Ini uangnya.” Diserahkanlah selembar uang seratus ribu rupiah.
Selagi menunggu lelaki itu memberikan kembalian, Sarayu tak sengaja melirik tulisan yang ada di atas etalase sebelah. Toko ini panjang, jadi begitu banyak etalase berjejer-jejer. Tertera informasi bahwa toko tersebut membutuhkan karyawan paruh waktu di sore hingga malam hari. Hati Sarayu tergerak untuk mengajukan diri.
“Ini kembaliannya,” kata lelaki tersebut.
Sarayu menerimanya secepat kilat dan memasukkannya ke dalam saku. Dia menurunkan kresek belanjaan dan menentengnya dengan mata yang masih tertarik memperhatikan tulisan lowongan tersebut.
“Lowongannya masih?”
Lelaki itu mengangguk. Dia pemuda bernama Arga yang merupakan anak pemilik toko. Dia baru saja pulang dari Surabaya setelah mengenyam empat tahun perkuliahan. Dia lulusan sarjana Akuntansi. Alisnya tebal dan matanya sangat teduh, dia juga terlihat seperti orang yang sangat cerdas, terutama dalam hal hitung-menghitung, aura tersebut terpancar begitu saja.
“Masih,” jawab Arga.
“Boleh aku melamarnya?” Sarayu sudah penuh antusias menanyakan hal tersebut, wajahnya berseri-seri seperti anak kecil yang diberikan boneka baru. Tak sabar mendapatkan pekerjaan.
Arga menelisik ke arahnya. “Sudah lulus sekolah?”
“Belum.”
“Tidak boleh kalau begitu.”
“Tapi aku bi–”
“Tidak menerima seseorang yang masih sekolah, nanti kalau nilainya menurun takut orang tuamu marah dan menyalahkan kami.” Arga memotong kalimat Sarayu bahkan sebelum gadis itu mengatupkan bibirnya. Sarayu mematung dengan kecewa. “Perlu membeli sesuatu yang lain?”
Gelengan kepalanya terlihat kecewa. Sarayu menyeret kakinya pergi keluar toko. Sesuatu yang dibencinya baru saja memberi kilasan yang menyakitkan. Mengapa orang dengan mudah memotong pembicaraan orang lain dan tidak berusaha menghargai sebentar sampai kalimatnya kelar. Mengapa orang lain begitu mudahnya mengabaikan sesuatu. Kalau bernafsu mengumpat, dia mengumpat sekarang, tapi sayangnya kekecewaan menekan responnya atas hal tersebut.
Tujuan Sarayu berubah. Dia berbalik badan dan kembali masuk ke dalam sana, menjumpai pemuda bernama Arga untuk memohon agar memberinya pekerjaan tersebut. Sarayu memamerkan prestasinya, sejak kecil selalu mendapatkan peringkat pertama sehingga itu bukan masalah, dia pandai mengatur waktu untuk belajar. Sarayu mengutarakan janjinya untuk bekerja dengan benar dan tidak akan berpengaruh buruk kepada sekolahnya.
“Tidak menerima seseorang yang masih sekolah, kiranya itu kalimat yang sangat jelas bagi orang yang mendapatkan peringkat utama sejak kecil.”
Penolakan Arga kali ini sangat menohok seolah prestasi Sarayu tadi hanyalah karangan. Kejam sekali, dingin, tak berperasaan, seperti karakter buatan di novel. Perasaan Sarayu meraung-raung, akhirnya dia bisa mengumpat meski di dalam hati. Sekalipun dia tidak diberi kesempatan untuk mencobanya.