Sepulang kerja adalah waktu keramat bagi Sarayu. Di saat itu dirinya bisa memiliki waktu sendirian, tidak perlu mengurus Bella karena dipastikan sudah tidur. Tidak perlu juga mendengar ocehan ibunya kepada Johar karena mereka juga sudah lelap dalam dunia mimpi yang memanjakan. Sementara Sarayu harus tetap terjaga untuk mengerjakan tugas-tugas sekolahnya, sekalipun tak ada tugas dia harus tetap membaca buku.
Sarayu telah berjanji kepada Arga kalau dirinya akan rajin belajar. Bekerja tidak akan membuatnya lupa soal kewajiban tersebut. Pun dia harus menunjukkan kepada Ibu kalau dirinya bisa, tidak akan ada lagi penurunan nilai dan ranking seperti semester lalu. Sarayu muak mendengar kalimat jahat yang terus dilempar kepadanya.
Tenggorokannya tiba-tiba terasa kering kerontang, Sarayu terbatuk. Dengan segera dia ke dapur untuk menuangkan minuman ke dalam gelas bening yang telah digenggamnya itu. Setelah air dingin menyentuh bibirnya, seketika dahaga itu mereda, lenyap seperti lelembut.
Dalam perjalanan kembali ke kamar, dia tidak sengaja mendengar isakan tangis dari dalam kamar Ibu. Sarayu merapatkan telinga, gerakan kakinya dijaga agar tidak menimbulkan suara. Daun telinganya menempel pada pintu dan suara itu makin jelas saja. Ibu terisak entah dalam posisi apa. Sarayu menerka-nerka apakah hari ini Ibu terkena masalah, atau Ibu lelah menjalani hal yang sebenarnya dia tahu kalau itu buruk, atau jangan-jangan Ibu sedang merindukan Bapak. Ya, lelaki yang titik radarnya tidak terpantau di bumi mana pun.
Sarayu tidak berani bertanya mengapa Ibu menangis kala itu, malam menjelma pagi, lantas berlalu hingga hari berganti minggu, dan bulan hampir genap tiga puluh hari. Sarayu mendapatkan acungan jempol dari Arga karena berhasil melalui pengalaman kerja pertamanya.
“Gajimu satu bulan ini,” katanya sembari menyodorkan selembar amplop putih, tipis seperti iman Ibu.
Tidak banyak, hanya sekitar tujuh ratus ribu. Segitu juga sudah banyak mengingat jam kerja Sarayu yang hanya setengah hari, apalagi ini di desa. Gaji sedemikian sudah umum di toko-toko lain.
Tangannya gemetar kala menerima amplop tersebut. Dia tidak menyangka bisa menghasilkan uang dengan kerja kerasnya sendiri. Amplop itu ditekuk dua kali dan kemudian dimasukkan ke dalam saku celananya. Senyumnya lebar, matanya berbinar, hatinya bergembira. Sarayu ingin segera pulang ke rumah dan menyampaikan uang ini kepada Ibu.
“Terima kasih, Mas Arga karena sudah menerimaku bekerja di sini.”
“Tapi ingat, belajarmu jangan lupa. Nanti kamu juga harus melaporkan hasil rapormu kepadaku,” seru Arga.
Sarayu mengangguk patuh. Lucu sekali lelaki ini, sudah seperti bapaknya saja. Eh, tapi, Bapak tidak pernah peduli soal hasil belajarnya. Bapak hanya tahu kalau Sarayu selalu mendapatkan peringkat satu sejak kecil, lalu Bapak menceritakannya di pertemuan-pertemuan keluarga saat lebaran. Itu saja yang Sarayu tahu, dia tidak pernah diapresiasi berlebih. Sisi senangnya dengan Bapak adalah santai terhadap hidup Sarayu, berbeda dengan Ibu yang selalu menuntut kesempurnaan padahal sendirinya bukan makhluk sempurna.
Ibu yang sudah mengajarimu sehingga bisa baca tulis, dari kamu tidak bisa membuka mulut sampai berbicara dan mengoceh. Kalau kamu tidak belajar sungguh-sungguh dan mendapatkan ranking satu, maka kamu tidak pernah menghargai usaha Ibu.
Kalimat keburukan yang bersemayam nakal di ingatannya.
“Kuantar kamu pulang, Sarayu,” ujar Arga.
“Tidak perlu, Mas. Kamu pasti juga lelah sehabis jaga kafe, aku bisa pulang sendiri seperti biasa.”
“Begitukah?”
Dan di sana mereka berpisah. Arga menunggu Sarayu berbelok ke gang lain, barulah dia masuk lagi ke dalam toko dan menguncinya dari dalam. Lelaki itu meregangkan otot-otot punggungnya. Menjadi produktif di usia muda itu baik, tapi bisa juga buruk kalau terlalu kebanyakan dan tidak memahami kondisi tubuh sendiri.
Biasanya, pintu tidak pernah dikunci sebelum Sarayu pulang, tapi lain hari ini yang membuatnya terjebak di luar rumah. Tangannya mengepal mengetuk kayu cokelat itu beberapa kali, dari tempo pelan sampai cepat. Rumah sekecil itu masa tidak ada yang mendengar sama sekali, atau telinganya memang tersumbat oleh batu-batu dosa karena makan uang haram. Demi Tuhan Sarayu pun merasa bersalah, berdosa, tapi rencananya baru saja dijalankan. Dia harap sekarang ini Ibu mau menerima sarannya untuk berhenti karena Sarayu sudah memperoleh uang halal.
“Ibu! Johar! Tolong bukakan pintu, aku pulang.”
Seorang bocah menggeliat sembari menggosok kupingnya dengan geram. “Siapa, sih?!” keluhnya. Tapi dia bangkit juga dari tempat tidur dan memutar kunci yang menempel pada lubang pintu. “Mengganggu orang tidur saja,’ decaknya pada Sarayu, kakaknya sendiri.
“Salah siapa mengunci pintu.” Sarayu geram sedikit.
“Tanyakan Ibu!”
Sabar Sarayu, lapangkan dadamu, dia hanya bocah kerasukan yang tidak perlu digubris. Tahu, kan, kalau iblis memang bertugas menggoda iman. Kalau kamu diam dan bersabar, artinya berhasil melalui godaan itu.
“Ada apa ribut-ribut?” Ibu keluar dari dalam kamar dengan dahi terlipat. Matanya sedikit memerah, pasti terbangun dari tidur.
Tumben semua orang sudah tidur di jam segini.
Sarayu menghampiri Ibu, dia mengeluarkan amplop dari dalam saku dan menyerahkannya kepada Ibu dengan dua tangan. Senyumnya merekah bahagia, itu adalah gaji pertamanya. Dia bahkan tidak pernah mengukir bayang-bayang hendak membeli apa dengan gaji pertama, semua itu rela dan tulus untuk Ibu.
Wanita tersebut mengintip isi amplop, Sarayu kira kedua sudut bibir Ibu akan terangkat spontan, tapi yang ada matanya malah menatap Sarayu dengan muak setelah bibirnya berkecumik menghitung berapa lembar yang tersembunyi di sana.
“Ini yang katamu ingin menghidupi orang tuamu?” Ibu mengacungkan amplop itu kemudian memindahkannya dengan cepat ke tangan Sarayu yang lemas. “Menurutmu berapa hari uang itu akan habis untuk makan satu keluarga?”
Ibu masuk ke dalam kamar dan menutup pintu membiarkan anak gadis itu berdiri di depan pintu setelah ditampar harapan baiknya sendiri. Sekali lagi perkataan Ibu berhasil memenangkan ruang kesengsaraan. Kekecewaan menjalari pikiran dan hatinya, tapi air mata yang seharusnya menjadi pelampiasan, bahkan enggan untuk turun karena terlalu malu. Kakinya seperti ditimpa batu, berat dan sulit untuk diseret menuju kamarnya sendiri.
Pagi itu.
Mata yang menyorotkan kekecewaan, terpaksa harus menatap adiknya dan berbicara, “Ini untuk bayar SPP sekolahmu bulan ini. Jangan lupa dibayarkan.”
“Hm,” singkat Johar tanpa ucapan terima kasih.
Pergilah dia ke sekolah dengan tatapan yang hampir kosong, semalaman dia tidak bisa tidur dengan nyenyak karena ucapan Ibu yang sangat menohok.
Akibatnya, Sarayu menguap sampai tidak terhitung karena saking mengantuknya. Biasanya juga begitu karena dia begadang untuk belajar, tapi kali benar-benar sulit dikontrol, bisa dibilang dia tidak sepenuhnya tidur semalam itu. Kerap juga dia ditegur oleh kedua sahabatnya, tapi Sarayu tidak pernah memberikan alasan mengapa dia selalu mengantuk ketika berada di sekolah.
Tak jarang pula Sarayu curi-curi kesempatan untuk tidur di jam akhir penghujung pelajaran. Triknya serupa, sebuah buku tebal diberdirikan lalu Sarayu menidurkan kepalanya di atas lengan. Sepertinya guru sudah memahami trik itu, tapi sengaja membiarkannya untuk tidur. Pada jam terakhir, guru juga lelah sehingga tidak banyak memprotes tindakan muridnya yang mungkin melanggar aturan.
Nabila menopang dagunya dengan kesal saat tahu Sarayu tidak terbangun padahal suara ribut-ribut baru saja terjadi karena murid yang lain berebut siapa yang keluar lebih dulu. Padahal pintu akan selalu di sana dan tidak berpindah, begitu saja diributkan.
“Mahen, bangunkan dia,” ujar Nabila dengan nada malas.
Lelaki itu menepuk pundaknya beberapa kali sembari memanggill namanya dengan lembut, “Sarayu, bangun, sudah waktunya pulang.”
Sahabatnya itu menggeliat seperti beruang yang terbangun dari hibernasi panjangnya. Spontan Sarayu melirik jam tangannya dengan panik.
“Maaf, aku harus pulang,” ucapnya buru-buru.
Sarayu meninggalkan sahabatnya.