Pengambilan rapor pada pertengahan semester berbeda dengan akhir semester. Tidak perlu ada pertemuan orang tua karena selembar nilai itu langsung diberikan kepada masing-masing siswa. Momen ini justru lebih mendebarkan daripada pas akhir semester. Sarayu harus menyerahkan sendiri hasil ujiannya kepada Ibu yang menjadi sangat sensitif di hari-hari seperti ini. Kalau nilainya bagus, itu kabar baik, tapi jika sebaliknya maka tamatlah sudah riwayat gadis itu.
Mahendra mengusir seseorang yang duduk di depan Sarayu sehingga lelaki tersebut memiliki kesempatan dekat dengannya. Mahendra menggeser badan ke samping agar bisa melihatnya dengan jelas. “Sudah, tidak perlu gugup,” ujarnya memberi semangat.
Pandangan Mahendra turun mengintip melalui celah bangku. Dia melihat kaki Sarayu yang sedang menjahit kain gaib. Orang kalau sudah gugup seringkali mengambil alih profesi dadakan seperti itu.
“Ibu menjadi orang yang menyeramkan di saat-saat seperti ini,” ujarnya dengan raut panik tak terbendung. Sarayu bahkan mungkin tak sadar kalau peluh telah mengotori wajah ayunya.
Mahendra teringat untuk merogoh saku, dia mencari benda kesukaannya, permen karet, tapi rupanya nihil. Barulah teringat kalau dia lupa membelinya pagi ini. Biasanya dia tidak pernah absen dengan persediaan permen karet, hari-hari dia kunyah makanan itu, berhenti kalau rahangnya pegal saja, dan tidur.
Mahendra memberi isyarat mata kepada Nabila untuk menenangkan Sarayu, tapi gadis itu malah mengangkat kedua pundaknya seolah enggan untuk memeluk raga sahabatnya yang sedang dirundung kecemasan. Nabila sudah menduga ini akan terjadi, tadi mereka sempat mengobrolkan soal nilai dan Nabila sudah berpesan agar Sarayu bersantai saja karena semua akan baik-baik saja. Rupanya seuntai kalimat itu tak cukup untuk membuatnya menjadi pribadi yang tidak goyah.
“Kamu pasti lebih baik daripada sebelumnya.” Sekali lagi Mahendra seperti seorang dokter yang memberikan obat dua kali sehari.
Wali kelas mereka datang ke ruangan membawa lembaran nilai semester. Sarayu coba menarik napas kemudian dihembuskan secara perlahan. Matanya terpejam dan berdoa penuh harap kalau hari ini semesta memihaknya. Tak ada omongan yang menyakiti hati yang keluar dari mulut Ibu, dan hari ini dia sangat berbahagia. Itulah harapannya. Yang palsu.
“Nilai kamu turun lagi, Sarayu,” ujar wali kelas, “kamu memiliki masalah di rumah atau di sekolah. Katakan, barangkali ibu bisa membantumu.”
Sarayu menggeleng dengan tubuh yang lemas. Dia bahkan tidak mendengar apa kalimat wali kelasnya tadi, Sarayu hanya langsung membayangkan respon Ibu ketika mengetahui nilainya yang terjun payung. Pandangannya kosong kala kembali menduduki bangkunya. Sarayu memang terlihat seperti gadis tangguh, bisa membela diri sendiri, bisa membangkang, tapi percayalah dia sungguh harus menyiapkan mental yang diasah seribu tahun untuk bisa menghadapi Ibu kala marah. Sarayu paling takut kalau emosi Ibu meledak, seperti dirinya dilempari granat yang langsung membuat tubuhnya tercincang-cincang.
“Nilai tidak dibawa mati, Sarayu. Kamu selalu berlebihan,” ujar Nabila. Dia adalah orang yang paling benci saat Sarayu mengkhawatirkan perkara nilai sekolahnya.
Mahendra memberi Nabila tatapan sinis, dan gadis itu tidak peduli.
Sarayu bergeming. Tak ada satu pun kata yang hendak dia sampaikan kepada Nabila. Orang tidak pernah tahu apa yang terjadi di dalam gubuk orang lain, tapi seringkali dia berucap sesuka hati berlagak seperti cenayang. Sarayu pernah bercerita kepada sahabatnya kalau Ibu menyeramkan saat marah, tapi mereka berdua tidak pernah tahu persis bagaimana perwujudan yang sebenarnya. Mereka sama sekali tidak pernah merasakan semburan api keluar dari mulut Ibu.
***
Bapak bisa pulang, tidak?
Desis Sarayu kala dia hendak masuk ke dalam rumah. Lelah sepulang kerja terasa bukan apa-apa, lebih melelahkan lagi kalau mendengar ocehan Ibu setelah ini. Hanya menunggu Sarayu menarik daun pintu itu dan menyelipkan tubuhnya ke dalam rumah. Lalu Ibu akan menunggu dengan duduk menyilangkan kaki dan melipat tangan. Ibu tidak mungkin lupa dengan hari sepenting ini.
“Mana nilaimu, ibu mau lihat.”
Sesuai dugaan. Ibu duduk menyilangkan kaki dan melipat tangan di depan dada. Tangannya terurai dan kini menadah.
Sarayu menunjuk dengan jempol. “Di dalam kamar.”
“Ambil.”
Dikeluarkannya kertas yang menyelip di antara buku-bukunya itu. Nyali Sarayu menciut ketika disuruh keluar dari kamar itu dan menghampiri Ibu. Bisakah dia menutup pintu dan menghilang kemudian seolah kamar ini portal menuju tempat lain. Ah, Sarayu, sudahlah jangan berandai. Cepat keluar atau Ibu marah, wanita itu tidak suka menunggu. Itu alasan kenapa dulu melarang Bapak pergi merantau, dia tidak sabar menunggu kepulangan lelaki yang dicintainya. Satu-satunya lelaki yang pernah sayang kepadanya.
“Kali ini lebih baik, kan?” tanya Ibu seraya menarik kertas tersebut dari tangannya.
Wajah Ibu langsung berubah seperti langit mendung yang berkabut hitam, mulutnya sebentar lagi mengeluarkan gemuruh dengan mata yang mengisyaratkan petir. Dan hujan akan turun dari sela-sela mata Sarayu. Tanpa berhitung lama, geluduk bergemuruh di dalam rumah itu. Ibu mencak-mencak memarahi Sarayu karena nilainya turun, Ibu bilang Sarayu tidak bisa membanggakan orang tuanya, Sarayu tidak lagi mengingat rencananya untuk mengangkat derajat orang tua.
Gendang telinga Sarayu serasa pecah, dan darah fiktif mengalir turun ke lehernya. Dia hanya bisa berdiri bak patung yang baru selesai dipahat. Momok bertahun-tahun silam telah kembali. Mengapa? Mengapa hanya ia yang diperlakukan begini. Kenapa tanggungjawabnya begitu besar?
Dalam sejarah lampau, anak pertama adalah budak. Sejarah itu ditelan terlalu dalam sampai pada masa sekarang pun tetap diterapkan. Dibiarkannya Ibu marah sampai puas meski dia harus memeriksa kondisi telinga dan mentalnya setelah ini.
Mengangkat derajat orang tua hanya tugas Sarayu? Lantas adiknya yang pembangkang itu apakah hanya pemanis saja. Pernah suatu saat Ibu membuat pernyataan gila yang tidak masuk akal. Ibu berasumsi kalau Johar tidak sepintar Sarayu adalah karena dirinya tidak pernah mau mengajari. Tidak mau menuntun adiknya untuk belajar bersama. Tidak mau menularkan ilmu yang telah didapatnya. Sebab itu tiap kali Ibu menyuruh Sarayu mengajar Johar belajar, dia selalu menolak. Dan kemudian Ibu akan mengoceh, “Punya ilmu kok diambil sendiri, dulu kamu tidak bisa langsung sepintar sekarang. Ibu mengajarimu, jadi tularkan ilmu itu kepada adikmu juga.”
Lelah sekali menjadi anak pertama. Itu sama sekali tidak adil. Kalau memiliki tiga anak, bukankah dia harus menyuapi tiga kali, menuntunnya berdiri tiga kali, mengajarinya membaca tiga kali. Kenapa Ibu hanya ingin melakukan sekali dan membiarkan dua lainnya diambil alih oleh Sarayu. Hukum tidak berjalan demikian.
“Ini akibat kamu tidak mau berbagi ilmu dengan adikmu!” katanya. Dengan dada yang berdebur-debur seperti ombak.
Sarayu mengangkat pandangannya dengan berani untuk mengatakan, “Bu, ini tidak ada hubungannya dengan itu.”
“Ada! Ilmu yang ditelan sendiri tidak akan menjadi berkah.”
“Johar tidak pernah mau kuajak belajar bersama, Ibu tahu sendiri dia selalu membangkang. Kalaupun aku harus mengajarinya, harus dia sendiri yang datang kepadaku. Aku lelah dipaksa mengerti semua orang.”
“Apa kukatakan, kamu memang anak pertama yang tidak bisa menjadi pelindung dan pengayom adik-adiknya.”
“Harus aku? Harus anak tertua?” Bibir Sarayu bergetar, begitu pula dengan tangannya, sementara air mata terus mengucur deras.
Ibu mengepalkan tangan dengan mata yang berapi-api. “Membantah saja terus!”
Bapak bisa pulang, tidak?
Entah berapa ribu kali Sarayu merapal kalimat yang sama hari ini. Dia berharap Bapak pulang. Benarkah Bapak telah mati seperti kata Ibu, tapi selagi belum dipastikan, Sarayu enggan percaya. Dia yakin Bapak sedang menyiapkan kejutan suatu hari nanti.
***
“Sarayu!” panggilnya sembari menempelkan sekaleng isotonik dingin di pipinya.
Di belakang mereka berdua, mereka sedang menyaksikan. Tadinya dia hendak bergabung, tapi melihat Mahendra menggoda Sarayu, urung baginya rencana itu karena telanjur kesal.
“Tumben,” kata Sarayu. Mahendra mengernyit. “Tumben memberikannya sepulang sekolah. Biasanya kamu memberinya di pagi hari.”
“Entahlah. Supaya kamu lebih semangat bekerja.”