Ibu datang ke rumah nenek sesuai dengan pesan Sarayu tadi pagi. Dia selesai berkeliling sekitar pukul empat sore, dari desa sebelah dan desa yang lebih jauh lagi. Hatinya sedikit jengkel setelah diabaikan waktu itu, tapi kali ini dia penasaran dengan hal yang hendak disampaikan ibunya.
Ibu mengetuk pintu rumah kakaknya dan tidak butuh waktu lama untuk dipersilakan masuk. Kedatangannya memang sudah dinanti sedari pagi. Ibu duduk di sofa dengan nyaman seolah itu memang rumahnya, dia mengambil segelas air mineral kecil dan menusuknya dengan sedotan sebesar jarum karung. Nenek dituntun oleh Budhe Marni untuk datang ke ruang tamu, asam uratnya kambuh sehingga jalannya tertatih-tatih seperti balita belajar berjalan.
“Untuk apa aku disuruh datang ke mari?” tanyanya dengan suara yang malas.
Beda tipis cara memandang wanita tua itu, antara kasihan dan kesal. Dua perasaan itu tumbuh dari tempat yang sama tanpa diinginkan sebelumnya. Ia menggeliat dari sekumpulan batin yang teraduk-aduk. Bagaimana seorang ibu bisa tenang melihat anaknya menekuni pekerjaan haram, memberi makan cucunya dengan uang hasil memeras orang miskin. Namun, ia pun tak dapat membantu sebab mendiang suaminya tidak meninggalkan apa-apa selain rumah yang ada di kampung setan itu. Nenek juga tidak bisa meminta anak tertuanya untuk membantu si adik sebab suaminya pendiam dan kaku–tak peduli perihal iparnya.
“Kakak dan iparmu mau pindah ke pinggiran kota.”
“Pinggiran mana lagi, ini sudah pinggir,” elak Ibu.
Nenek diam, Budhe Marni pun diam.
“Jadi kalian mau meninggalkanku sendiri?” Tetiba kini Ibu menaikkan pandangan dengan mata yang memanas ke arah kakaknya. “Kamu berdalih mengajak ibu tinggal bersama karena ingin memisahkanku selamanya?”
“Ini keputusan suamiku, Risanti.”
“Tapi kenapa? Kenapa semua orang meninggalkanku. Suamiku pergi dan melarikan diri, ibu keluar dari rumah, sekarang kamu mengajak ibu pergi sejauh-jauhnya seperti lelaki berengsek itu,” berang Ibu seperti kerbau lepas kandang.
Ibu menangis, terisak-isak, dramatis selayaknya pemain FTV. Nenek dan Budhe Marni hanya memperhatikan, kalau ditolong bisa semakin menjadi-jadi. Aksi protesnya tak berhenti seiring tangisan itu menggeru atas kekecewaan yang membuncah. Ibu mengungkit peristiwa masa lalu tentang nenek yang menjodohkannya dengan Bapak, padahal dulu Ibu ingin menikahi kekasihnya yang seorang polisi. Nenek lantas membela diri kalau keluarga kekasih yang dimaksud itu tidak menginginkan Ibu. Kemudian, Ibu membalas, katanya itu kesalahan nenek dan kakek yang berasal dari keluarga miskin.
Memusingkan, bukan? Begitu seterusnya adegan salah-salahan terjadi sehingga rumah itu ramai suara seperti sedang diadakan pesta. Mengundang banyak telinga-telinga kurang ajar yang menguping dari jalan kampung. Tetangga berbondong-bondong keluar dan meninggalkan pekerjaan mereka. Seorang ibu masih memakaikan celana dalam kepada balitanya karena begitu penasaran. Lelaki tua urung pergi ngarit dan memarkirkan sepedanya untuk menyadap perseteruan dengan telinganya yang sudah usang, sementara seorang anak kecil–yang menempel pada ibunya–merasa ketakutan sebab lelaki tua itu membawa sebilah arit mengkilap.
Kemarahan itu menyeruak meracuni pikiran. Ibu menghantam-hantam dadanya dengan bibir yang bergetar, masih dengan pertanyaan mengapa semua orang meninggalkannya.
“Bahkan Tuhan pun mengabaikanku,” katanya.
Ibu memuntahkan semua rasa sakit yang selama ini melilit. Syaraf-syaraf ditubuhnya menegang. Rasa sakit tentang kehilangan yang belum pernah dia ceritakan kepada siapa pun. Ini seperti sebuah kesempatan. Ibu belum pernah mengadu kalau dia kesepian setelah suaminya pergi dan nenek ikut dengan kakaknya, Ibu hanya melampiaskan dengan marah-marah kepada anaknya. Ada sekilas kelegaan yang menghampiri kala isi hati itu telah meluap, tapi Ibu tetap tidak bisa terima kalau nenek pergi jauh ikut kakak dan iparnya.
Sementara kepala-kepala itu masih memanas, Sarayu pulang ke rumah dengan tenang dan tak menduga ada kejutan yang menanti.
Dia baru tahu saat seorang tetangga mengetuk pintu rumah dan memberitahu kalau sedang terjadi pertengkaran di rumah budhenya. Masih dengan seragam sekolah yang melapisi tubuh, Sarayu bergegas ke sana menaiki sepada ontel yang karatnya sudah menyebar banyak.
Setibanya di sana, Ibu sudah keluar dari dalam rumah Budhe Marni dengan wajah yang becek akibat tangisan yang meluber ke mana-mana. Orang-orang penasaran yang tadi berserakan di luar rumah, sekarang sudah masuk ke rumahnya masing-masing dan mengubah aksinya dengan mengintai melalui jendela. Sarayu berjalan mengiringi langkah Ibu untuk pulang sembari menuntun sepedanya. Dia tidak bertanya apa pun.
***
Bagaikan api yang melahap ilalang kering di padang rumput, berita mengenai pertengkaran Ibu dan nenek menyebar dengan sangat cepat sampai-sampai ketika sedang melayani pembeli, Sarayu ditanya mengenai hal tersebut, bukannya bertanya mengenai barang yang dijual. Seperti biasa kalau dia risi mengenai sesuatu, maka dia tidak akan menjawabnya. Namun, seorang telah meninggalkan toko, seorang lain datang menanyakan hal yang sama. Wabah seperti itu memang kerap menyerang masyarakat di kampung.
“Sudah, tidak perlu dipedulikan,” ujar Arga yang saat itu kembali lebih cepat dari kafe dan membantu di toko yang tetap ramai meski hampir tutup.
Sarayu meregangkan bibirnya. Untungnya semesta mengutus Arga ke dunia ini, setidaknya hanya lelaki itu yang bisa mengerti kondisinya. Di saat semua orang membuat pikiran dan hatinya panas, Arga menjelma menjadi sebongkah es batu yang memadamkan api itu.
Sepiring nasi goreng yang dijual di pinggir jalan kemudian mengisi perutnya yang keroncongan. Tadi Sarayu sibuk menenangkan Ibu sehingga dia lupa untuk makan. Giliran hendak ke dapur, dilihatnya jam sudah menunjukkan pukul empat yang menandakan dia telat ke toko. Sarayu bergegas dengan lari terpontang-panting agar tidak mendapat omelan, ya meskipun memang sedikit telat.
Sarayu tidak sendirian menikmati nasi goreng itu, melainkan bersama Arga, ini juga termasuk ide lelaki tersebut untuk makan nasi goreng pinggir jalan raya yang katanya enak. Hanya mereka berdua pelanggan malam itu, untungnya, jadi bisa leluasa untuk mengobrol berdua. Padahal kata Arga, biasanya ramai.
“Tidak perlu mendengarkan yang tidak perlu kamu dengar, Sarayu,” ujar Arga kemudian setelah nasi goreng mereka berpindah ke lambung. Sarayu menceritakan semuanya sehingga Arga bisa berkata demikian.
Gadis itu mengangguk patuh. “Terima kasih telah mendengarkan semuanya. Meskipun itu seharusnya bukan hal yang ingin kamu dengar, kan?”
“Kamu salah. Kalau aku tidak ingin mendengarnya, jelas sudah kularang kamu membuka mulut daritadi.” Arga memperhatikan Sarayu yang telah selesai merapikan piring bekasnya. “Mari kuantar pulang.”
Kresek hitam berisi sebungkus nasi goreng itu ditenteng rendah lalu ditaruh di atas meja makan. Sesudah itu Ibu muncul di dapur untuk mengambil air minum karena haus. Sarayu menyuruhnya untuk makan nasi goreng itu, tapi katanya sudah kenyang. Nasi gorengnya kemudian disimpan di dalam kulkas untuk dipanasi besok pagi dan dipakai untuk sarapan.
Kelopak mata Ibu terhias semburat lebam yang cukup tebal. Sarayu memilih diam karena takut mengganggunya. Beruntung sekali anak-anak gadis, anak-anak lelaki yang bisa dekat dengan ibunya. Tiga anak di rumah ini bisa dekat dengan Ibu kala suasana kondusif saja, kala tak memiliki masalah, kala semua kebutuhan tercukupi. Jika salah satunya menghilang, langsung berubah menjadi medan tempur dengan mulut Ibu menjadi meriamnya. Namun, untungnya malam ini Ibu tidak melampiaskan kemarahannya kepada semua orang karena Sarayu tahu Ibu sedang menikmati tangisan, yang biasa dilakukan setiap malam.
***