Firasat buruk tidak pernah keliru. Layaknya ombak pasang yang menghantam secara brutal. Dan tubuh tak berdaya itu hanya bisa pasrah menerima, tak ada uluran tangan yang mampu menariknya dari rasa sakit yang mengikat erat. Pun tak sudi mengeluarkan air mata karena gengsi, diam saja membisu seperti itu serupa batu karang berbentuk tubuh manusia.
Nenek dan Budhe Marni datang untuk berpamitan pergi sesuai dengan rencana kala itu, padahal selama ini Ibu selalu merapal doa agar mereka berubah pikiran, tapi tak juga. Berdiri tegak meski tubuhnya ringkih, pandangan nenek mengitari sudut-sudut rumah yang penuh dengan kenangan berpuluh-puluh tahun lamanya.
Di rumah ini nenek tinggal dengan mendiang suaminya, mengasuh kedua anaknya yang sangat disayangi, semua perabotan lama menjadi saksi jatuh bangun hidup nenek. Di rumah ini juga dia menikahkan Ibu dengan Bapak, Budhe Marni dan suaminya. Setiap tangis dan tawa seolah terekam dengan jelas. Kalau dilihat dari mata, sepertinya nenek juga berat untuk pergi, entah karena rumah ini atau Ibu.
“Aku hendak berpamitan, Risanti,” ucap nenek dengan suara yang tenang.
Ibu hanya diam, tak melirik, tak protes.
“Risanti,” panggil Budhe Marni, “kami harus pergi.”
“Pergilah dan tidak usah kembali.”
Budhe Marni hendak menimpali perkataan itu, tapi nenek dengan segera memegangi tangannya dan mengedipkan mata sekali. Nenek tidak ingin ada perdebatan sore itu. Nenek mengelus punggung tangan Ibu dan sekali berpamitan dengan tulus, menitipkan kepadanya sebuah pesan agar menjaga anak-anaknya dengan baik. Ibu masih bergeming.
Kedua cucu nenek langsung berhamburan ke dalam pelukannya, Johar tidak ada. Mereka gantian berpelukan. Sarayu tampaknya tidak bisa mencegah air matanya untuk menampakkan diri dan ikut berpamitan juga. Tangisan mereka menyatu dengan deru angin sore dan Ibu sama sekali tidak tertarik untuk menyaksikan hal tersebut.
Nenek berpamitan lagi, lalu selesai, naik ke mobil dengan dituntun Budhe Marni. Mobil dinyalakan, suaranya menggerung-gerung dan lantas meninggalkan rumah lama dengan jutaan memorinya itu.
Kemudian, Sarayu dan Bella juga berpamitan. Dia akan mengantar adiknya ke TPQ sebelum dia berangkat ke toko.
Sisa hari itu digunakan Ibu untuk berdiam diri, dia juga tidak berniat menagih utang orang-orang. Ibu seolah kehilangan akal pikirnya, seperti saat Bapak pergi meninggalkan rumah ini. Mungkin kali ini energinya telah susut sehingga dia tidak memiliki nafsu untuk marah-marah.
Memang benar, melepaskan tidak semudah omongan orang-orang yang tidak pernah patah hati. Semuanya terjadi begitu cepat, setelah suaminya, ibunya, apakah setelah ini anak-anaknya juga akan pergi. Ibu memikirkan skenario yang buruk di dalam otak, menganggap semua orang tidak sayang dirinya. Memang begitu, sejak dulu siapakah yang peduli terhadap Ibu, dia selalu merasa sendirian.
Namun, akan selalu ada yang membuat bom di dalam diri Ibu meledak. Sehabis isya Johar pulang ke rumah setelah seharian bermain di luar. Kepulangannya bukan untuk beristirahat, melainkan hendak meminta uang kepada Ibu. Uang lagi dan lagi. Jelas Ibu langsung memberang seperti macan hutan, meski begitu Johar tidak takut dan malah marah-marah kembali. Akhirnya, tanpa sepeser uang bocah itu pergi keluar entah ke mana tujuannya. Dan Ibu langsung terisak-isak tanpa seorang pun yang menepuk-nepuk pundaknya. Bella ada di kamar, meringkuk ketakutan setelah mendengar Ibu marah-marah, selalu seperti itu.
Sarayu pulang sekitar pukul sembilan lebih. Dia mengucap salam dan dijawab oleh ibunya yang duduk termenung di atas sofa yang telah melesak itu. Sarayu mengecup punggung tangannya setelah itu pergi ke kamar. Dia tahu Ibu sedang bersedih setelah kejadian sore tadi.
“Mbak,” panggil Bella sembari menarik-narik kain bajunya saat Sarayu meneguk minumannya.
“Hm?” Ditaruhnya gelas itu di atas meja dan membungkuk sedikit. “Ada apa?” tanyanya dengan sedikit berbisik seperti yang dilakukan gadis kecil itu.
“Aku tidur sama Mbak, ya,” ujarnya memohon. Matanya membulat sempurna, mengkilap seperti toping boba.
Sarayu mengernyit. “Memangnya kenapa?” Dia bertanya karena penasaran apa yang terjadi kepada Ibu di saat dirinya tidak ada.
Tangan Bella melambai kecil meminta telinganya untuk mendekat. “Ibu tadi marah dengan mas Johar lalu menangis.”
Lucu sekali Bella melakukannya dengan waspada takut didengar oleh Ibu yang ada di ruang tamu. Bagaimanapun rumah mereka tidak seluas itu sehingga percakapan dengan suara yang normal bisa terdengar. Sarayu mengangguk paham. Dia menggandeng adiknya untuk pergi ke kamarnya dan tidur bersama.
Setelah menidurkan Bella, dia hendak menghampiri Ibu untuk menghiburnya. Namun, baru sampai memegang daun pintu, Sarayu mendengar Ibu mengoceh dengan seseorang di seberang telepon. Suaranya memekakkan telinga di malam-malam seperti itu. Alhasil, Sarayu urung mengeluarkan diri dari kamar. Dia memilih untuk tidur saja daripada bertanya kepada Ibu, ada apa? Bukan waktu yang tepat untuk mengajaknya mengobrol, bukannya tenang yang ada Ibu malah mencak-mencak.
Sarayu tidak tahu siapakah orang di seberang telepon yang sudah membuat ibunya naik pitam, benar-benar tidak tahu situasi. Dari yang terdengar Ibu terus berbicara kapan? Omong kosong muncungmu itu, kalau berniat menipu tidak perlu manis-manis di awal. Dasar berengsek. Sarayu tebak kalau itu adalah debiturnya.
Sarayu tidur miring sembari melipat tangannya sebagai bantal. Bukan hanya tidur diiringi suara kipas seperti biasa, kini ditambah dengan suara Ibu yang belum juga selesai dengan urusan tersebut. Lama kelamaan Sarayu mulai terlelap dengan pikiran yang hampa, tak pasti apakah dia mendengar suara Ibu, atau dia sedang menyusun skenario, atau bahkan sedang tidak memikirkan apa-apa. Sarayu tidak tahu pasti karena rasa kantuk itu keburu merenggut nyawanya.
***
Magic com yang rusak belum diperbaiki, jadi Sarayu harus menanak nasi dengan cara lama. Sepagi itu dia tidak melihat di mana keberadaan Ibu. Biasanya pasti ada di dapur untuk membuat teh hangat, atau terkadang baru keluar dari kamarnya dengan rambut berantakan dan menguap.
Samar-samar sebuah suara mulai merasuk ke pendengarannya, yang lama-kelamaan menjadi jelas. Sarayu mengenal betul kalau itu adalah suara ibunya. Dengan bergegas dia pergi keluar untuk melihat apa yang terjadi, tapi dia lupa mematikan kompor, dari ambang pintu utama itu Sarayu berlari lagi ke belakang untuk mematikan kompor. Lalu berlari lagi keluar rumah dan menemui Ibu yang sedang ribut dengan tetangga samping rumah.
“Ibu.” Suaranya ikut nimbrung di antara riuh rendah yang sedang berlagu.
Panggilannya itu sama sekali tidak diindahkan. Sarayu berusaha membelah kerumunan untuk sampai di sisi Ibu.
“Akan kubayar! Kamu tenang saja, dasar rentenir!” teriak Sawitri, ibu dengan anak setengah lusin itu melotot dengan mata yang memerah.
“Dasar orang miskin.” Ibu tidak mau kalah dengan wanita itu.
“Kamu juga miskin!”