Ibuku Seorang Rentenir

SerenaClaire
Chapter #11

Bab 11 - Perundungan yang Mengerikan

Dalam kesunyian malam yang memeluk erat, Sarayu berbaring di atas tempat tidurnya dan menyembunyikan sebagian badannya di dalam selimut. Bantalnya dia tumpuk dua kali agar lebih tinggi, barulah kemudian gadis itu membaca buku yang diberikan oleh Arga. Sarayu Natasha membaca bukunya pelan-pelan dan mencernanya dengan baik.

Sisi biologis kita selalu mempedulikan sesuatu, dan karena itu kita akan memedulikan sesuatu.

Untaian kalimat tersebut tertulis dalam bukunya. Hal yang dibicarakan sedang terjadi kepada Sarayu, dia berusaha merespon apa pun yang terjadi, dia seolah ingin selalu peduli terhadap hal-hal yang ganjil di otaknya. Tanpa dia sadari, itulah yang membuatnya lelah sendiri sampai tidak mempedulikan diri sendiri.

Faktanya, hal buruk itu menjadi hobi semua orang. Rasanya akan dihujam perasaan bersalah jika tidak menyenangkan orang lain atau tidak membantunya. Sebuah langkah untuk mengabaikan diri sendiri tak peduli apakah itu akan menyakitkan atau tidak.

Dan Arga sedang membantu Sarayu untuk terbebas dari belenggu yang tidak seharusnya dirasakan. Baik juga lelaki itu, tampangnya seperti tidak peduli, tapi sebenarnya dia merasa kasihan dengan Sarayu. Itu sebabnya dia memberikan buku agar Sarayu belajar.

Hari ini tidak ada PR jadi dia bebas untuk membaca buku sampai matanya terasa sepet hingga perlahan mulai tertidur dengan buku yang telungkup di atas dada. Namun, Sarayu terlihat tidak nyaman kala tidur dikarenakan tubuhnya yang kurang fit sebab kelelahan bekerja. Semua orang yang banting tulang mendapatkan uang pasti merasakan hal ini.

***

“Bu, aku berangkat sekolah,” pamitnya kepada sang ibu yang masih dalam rangka patah hati akibat ditinggal nenek pergi.

Ibu hanya berdeham pelan dengan napas yang berat. Tubuhnya bersandar di tembok, setengah berbaring di atas ranjang, tatapannya lurus entah memandang apa, mungkin nyamuk yang berputar-putar di udara atau menatap cat tembok rumah yang sudah usang berwarna sedikit kecokelatan.

Sarayu harap hari ini tidak seburuk kemarin. Salah, seharusnya hari ini lebih baik daripada kemarin. Ya, dia seharusnya mengubah harapan kecil itu karena semesta mendengar apa yang terjadi. Semoga saja tidak ada keburukan yang menimpa, kasihan, hidupnya sudah cukup malang dengan cobaan keluarga yang bertubi-tubi. Bagi gadis seusianya, itu terbilang cukup berat, sedangkan seharusnya dia merasakan butterfly era dengan menjalin cinta atau bersenang-senang dengan temannya.

Seperti biasa, Mahendra duduk di depan bangku Sarayu untuk menikmati wajahnya yang ayu dan matanya yang sayu.

“Mimpi apa semalam?” tanya lelaki itu tiba-tiba, sebuah pertanyaan yang cukup random.

“Tidak bermimpi apa-apa.”

Mahendra manggut-manggut samar sembari bergumam, “Aku pikir kamu memimpikanku.” Dia lalu menopang pipi kirinya dan masih tetap memandangi Sarayu.

Gadis itu menyengir. “Masih saja seperti itu? Kamu tahu konsekuensinya, aku tidak akan berteman denganmu lagi.”

“Dan kamu tidak akan memiliki teman sama sekali.” Dia berdecak. “Ancaman buruk itu tidak berlaku untukku, buktinya kamu masih mau kuajak mengobrol hingga sekarang, tidak canggung juga, kan?”

“Tidak canggung katamu?”

Mahendra mengangguk.

“Aku hanya pura-pura tidak canggung.”

“Teruslah berpura-pura seperti itu karena aku akan terus mengutarakan cinta ini, aku akan mengejarmu sampai kamu mau menerimaku.”

Sarayu menggigit bibirnya lalu mengangkat pandangan dan menatapnya lekat. “Hal itu tidak akan terjadi.”

“Aku akan membuatnya terjadi.”

Baiklah, Sarayu mengalah. Dia lelah. Faktanya Mahendra adalah lelaki yang cukup keras kepala. Dia berusaha mewujudkan apa pun yang dia inginkan, sesuai ceritanya yang sejak kecil mendapatkan apa saja yang dimau sehingga dia menanamkan pemikiran kalau tidak ada yang mustahil selama dunia belum kiamat.

Interaksi yang menyenangkan itu membuat gadis di bangku ujung merasa berapi-api, hidungnya mengeluarkan asap tipis yang hangat. Tidak mau lebih kesal lagi, dia menyeret teman sebangkunya untuk pergi keluar kelas.

Sarayu menyaksikannya keluar dengan dahi yang mengerut, ditebaknya kalau Nabila pasti sedang kesal, tapi dia tidak berani bertanya atau hanya sekadar untuk menyapanya. Mahendra memetik jari di hadapan wajah Sarayu karena gadis itu tiba-tiba tidak merespon ucapannya dan fokus ke arah lain.

Sarayu mengerjap.

“Ayo kita ke kantin,” ajak Mahendra, tapi gadis itu tak kunjung beranjak dari duduknya. “Ayolah,” ajaknya sekali lagi dengan menyeret tangannya kali ini.

Terus berputar banyak masalah di dalam kepala yang membuatnya seringkali kehilangan fokus. Sarayu masih memikirkan hal yang seharusnya tidak dipikirkan, kalau Arga tahu dia pasti dimarahi.

Dua wajah yang seharusnya tidak bertemu malah berpapasan lagi di kantin. Nabila buru-buru memasang wajah sinis kepada orang yang disebutnya mantan sahabat. Tangan Sarayu mengepal, dia begitu geram dengan situasi ini. Ada perasaan menggebu-gebu ingin meluruskan apa yang terjadi, kalau bisa Sarayu ingin menggali dari akar terdalam apa yang membuat Nabila marah sampai menyebar berita kalau ibunya adalah rentenir.

Namun, lagi-lagi Mahendra menghentikan langkahnya. Lelaki itu tahu kalau Nabila bukanlah musuh yang mudah, gadis egois itu tidak akan pernah bisa membicarakan masalah dengan kepala dingin. Inilah alasan mengapa dia kekeh berada di sisi Sarayu, salah satunya melindungi dari Nabila.

***

Ibu terlihat pergi dengan supranya untuk menagih utang kepada orang-orang yang ada di desa sebelah. Wajahnya sedikit lesu karena masih tidak bisa menerima kenyataan. Senyumnya diirit, tak seperti biasa. Dengan motor butut itu dia akan berkeliling seharian ke tempat-tempat lain untuk menagih utang.

Setidaknya berada di luar membuat Ibu lebih senang, daripada harus mendekam di rumah yang menyimpan beribu luka pahit itu. Ibu dan pikiran beratnya menyusuri jalanan menuju desa-desa lain dengan laju kendaraan yang pelan. Dia harus melakukan setoran kepada Jarna atas modal yang telah digunakan dan pembagian hasil yang mereka sepakati.

Sepulang sekolah, seperti biasa Sarayu tidak pernah melihat Ibu. Dia melemparkan tubuhnya di atas sofa berbau tengik itu dan perlahan matanya terpejam meski dia berjanji tidak akan tidur karena sebentar lagi harus pergi ke toko.

Samar-samar, dia mendengar suara knop kompor. Telinganya sangat awas. Dengan cepat dia mendirikan tubuh dan bergegas ke dapur. Di tempat itu dia melihat Bella berusaha untuk menyalakan kompor. Ada panci berisi air yang ada di atas tungku.

Lihat selengkapnya