Ibuku Seorang Rentenir

SerenaClaire
Chapter #12

Bab 12 - Usaha Memutus Karma

Tidak ada yang menyenangkan di dunia ini selain fakta kalau sekarang adalah hari Minggu. Sarayu tidak perlu datang ke sekolah untuk menghadapi hal buruk secara sadar, tapi dia harus mempersiapkan diri untuk hari Senin. Tak apa, itu dipikirkan nanti saja, sekarang dia harus menjalankan rencana yang dipikirkan semalam bersama dengan Arga.

Mula-mula, tentu dia harus berbicara dengan Ibu, dari hati yang paling dalam dan sabar. Ibu bersiap-siap untuk menagih utang, rutinitas ini tampaknya menyenangkan karena dia selalu bersemangat akan mendapatkan uang.

Sarayu mengetuk pintunya dan dipersilakan masuk, Ibu sedang menyisir rambut panjangnya yang kemudian akan diikat bawah. Sarayu menggenggam sendiri tangannya yang mulai menggigil, dia sedikit takut sebenarnya untuk mengatakan ini, tapi demi kebaikan semua orang, demi dunia yang singkat ini dia mau memberanikan diri.

“Ibu aku ingin berbicara,” katanya dengan cepat.

“Katakan saja.” Ibu kini sudah mengikat rambutnya di belakang leher.

“Aku ingin Ibu berhenti bekerja seperti ini.”

Tangan Ibu langsung turun dan tidak berminat lagi untuk merapikan ikatan rambutnya. Ibu menatapnya dengan tajam, terselip muak yang tak terucapkan. Ibu tidak membalas dan langsung mengambil menyahut tasnya. Sarayu menahan tangannya ketika hendak keluar dari kamar tersebut.

“Ibu mau berangkat sekarang.” Akan tetapi, Sarayu tidak mau melepaskan Ibu. “Kamu memang suka dimarahi, ya?”

Nyalinya sudah menyusut, keberaniannya menguap kala melihat sorot mata Ibu yang mampu mengiris itu. Ibu pergi meninggalkan rumah. Sarayu langsung terduduk dengan lemas, seluruh kekuatan yang dia genggam langsung luruh seketika. Seperti dugaan, ini tidak semudah rencana karena memang berbicara dengan Ibu butuh keberanian besar.

Selalu berdesir perasaan takut untuk membicarakan hal dengan Ibu, apa mungkin karena Sarayu selalu disalahkan atau jarang diapresiasi, sepertinya begitu. Gadis itu memeluk lutut dan menenggelamkan kepala. Harus ada rencana lain yang dieksekusi sebelum karma buruk menjalar menggerogoti kehidupan.

Namun, dengan cara apa untuk membujuk Ibu?

Pintu di depan mengeluarkan suara, ada seseorang yang bertamu ke rumahnya. Sarayu bergegas untuk membukakan pintu dan rupanya itu adalah Mahendra yang langsung menghela napas lega begitu melihat Sarayu.

“Mahen?”

“Kenapa tidak membalas pesanku sama sekali? Kamu baik-baik saja?”

Lelaki itu langsung menduduki kursi yang ada di teras, tahu diri dengan tidak masuk ke dalam rumah karena takut mengundang hal yang tidak-tidak sebab dia sudah tahu bagaimana orang-orang di kampung ini menjalani hidup, yakni dengan menggoreng gosip sampai matang.

“Setidaknya balas pesanku agar aku tidak cemas.”

“Aku … aku tidak punya tenaga untuk melakukannya. Kamu tahu sendiri apa yang dikatakan orang-orang di grup angkatan.”

Mahendra bersungut-sungut, jemarinya mengepal erat. “Ini semua gara-gara gadis sialan itu.”

Sarayu malah terkekeh melihat tingkahnya yang menggemaskan. “Kemarin kamu bilang supaya aku tidak membalasnya, sekarang kamu sendiri yang geram.” Tawanya renyah sekali seperti peyek yang pernah digoreng Ibu.

“Itu karena aku tidak ingin kamu punya masalah yang tidak penting. Aku tidak tahu kalau Nabila akan bertindak sejauh ini dengan menyebarkan hal buruk yang merugikanmu.” Mahendra lalu menyadari sesuatu dan melanjutkan perkataannya, “Gadis bodoh, seharusnya kamu menangis di pelukanku, bukannya tertawa seperti ini.”

Sarayu menyengir. Sungguh lelaki itu paling lucu sejagad raya.

“Semuanya berantakan, Mahen, aku bahkan lupa bagaimana cara menangis. Aku tersenyum, menyengir, tertawa, dan lantas lebih lantang lagi sampai dicap sebagai orang gila. Mungkin sebentar lagi aku akan memiliki sebuah kamar yang cantik di rumah sakit jiwa.”

“Jangan sampai.” Mahendra langsung mengetuk kepala dan meja di samping secara bergantian, seperti yang dilakukan oleh orang-orang tua untuk menghindari sial katanya, biasanya sembari mengatakan amit-amit jabang bayi.

Uap hangat meluncur dengan cepat dari mulutnya, tak terhitung berapa kali Sarayu mengeluh hari ini. Dia membelokkan kepalanya ke arah Mahendra dan bertanya, “Kira-kira apa yang sudah membuat Nabila semarah itu. Aku bahkan tidak merasa memiliki kesalahan kepadanya, aku sudah memikirkan ini dalam-dalam.”

Mahendra terlihat diam saja. Mata Sarayu turun melihat tangan lelaki itu yang membuat gerakan seperti sedang menyetrika pahanya. Mahendra terlihat sangat mencurigakan, respon diamnya seperti menyimpan hal yang direncanakan untuk tetap terpendam. Namun, Sarayu ingin menggalinya. Dia memasang tatapan mengintimidasi dan membuat Mahendra kelagapan sendiri.

Semakin diam lelaki itu, semakin membuat Sarayu curiga.

Mahendra tidak berani menatap Sarayu, dia membelokkan pandangan ke arah lain dan membuat basa-basi yang sudah basi. “Bungamu banyak sekali, siapa yang menanam?” Matanya kemudian meremas, menyadari kebodohan yang dibuatnya.

“Tidak perlu menyembunyikannya. Aku tahu kamu mengerti alasannya, katakan saja, Mahen. Kumohon.” Matanya membulat penuh harap dan membuat Mahendra tidak memiliki alasan lain untuk menolak memberitahu.

Mahendra menggigit bibir sembari menimang-nimang kalimat di dalam kepala. Tangannya berhenti menyetrika, kini kakinya yang menjahit. Dia cemas diburu-buru oleh Sarayu yang tak sabar ingin mendengar sesuatu keluar dari mulutnya.

“Oke!” ucapnya dengan nada penuh keterpaksaan. “Maaf, Sarayu.”

“Maaf kenapa, Mahen?” Nada bicara Sarayu semakin menuntutnya mengatakan apa yang terjadi..

Mahendra mengambil satu tarikan napas. “Aku penyebabnya.” Dada Sarayu berdebum setelah mendengar itu, tapi dia belum mau berkomentar. Mahendra melanjutkan. “Nabila dendam karena aku menyatakan perasaanku kepadamu.”

“Nabila suka sama kamu?”

Mahendra hanya diam.

“Alasan konyol apa ini sampai merugikanku jauh sekali.” Sarayu kehabisan kata-kata. Kepalanya terasa pening, perutnya terasa mual.

Lihat selengkapnya