Lantai rumah itu termasuk model lama. Dulunya berwarna oranye dengan warna merata, kini sudah memudar dan blonteng-blonteng. Ketika diinjak oleh kaki seperti ada pasir halus yang bersembunyi di sela-sela ubin, pun akan mengeluarkan bunyi karena ubin-ubin itu mulai merenggang.
Di ruang tamu, Ibu menggelar sebuah tikar dari anyaman pandan yang warna cokelatnya mulai pekat bahkan menghitam, tanda sudah berumur lama. Pintu dibuka karena dia masih menunggu ada orang yang membeli gorengan meski sudah malam. Ibu mulai menyadari kalau pekerjaan ini menyenangkan, tinggal duduk di ruang tamu sembari menonton sinetron favorit dan menunggu orang membeli gorengan. Kompor dan peralatan lain ada di teras.
“Assalamualaikum.”
Sarayu pulang. Dilihatnya Bella sudah tidur telungkup di tikar pandan. Sementara itu mata Ibu terlihat sayup-sayup menahan kantuk, kantong matanya bergelayut berat. Punggungnya bersandar pada sofa yang usang. Mendengar suara Sarayu, matanya berusaha untuk dibuka lebar.
“Belum dibereskan, Bu?” tanya Sarayu, melirik peralatan jualan gorengan yang masih ada di teras. Kalau tutup akan dimasukkan semua ke dalam rumah, jika tidak maka maling akan menyunggingkan senyumnya.
“Tadi mau dibereskan, tapi aku sangat mengantuk.” Ibu kemudian menguap dan ditutup dengan satu tangannya.
Badannya dirujam rasa lelah karena terus berdiri melayani pembeli, otot-otot kakinya mengeras, tapi Sarayu masih mau membantu Ibu untuk membereskan dagangan. Selang kompor dipisahkan dari elpiji dan dibawa masuk, ditaruh di ruang tamu yang sekaligus ruang keluarga.
Pintu dikunci, nanti kalau Johar pulang pasti akan gedor-gedor.
Mereka berdua duduk di sebelah Bella dan menikmati sisa gorengan yang tidak habis terjual. Sarayu makan beberapa gigit, sementara Ibu cukup menikmati masakannya sendiri dan menghabiskan beberapa biji. Mereka tidak mengobrolkan apa pun, seperti biasa, tidak begitu dekat.
Namun, tatapan Ibu perlahan-lahan mengambang. Kemudian suaranya berucap pelan, “Ibu kangen dengan bapakmu. Ingin kupeluk jasadnya.”
“Bu, bapak pasti baik-baik saja di sana. Ini hanya soal waktu.”
“Aku mengumpulkan uang jika sewaktu-waktu dia datang dan dikuburkan.”
“Bu, bapak masih hidup.”
“Orang hidup pasti bisa memberi kabar, dia sudah mati, Sarayu.” Suaranya pelan seperti tak bergairah, tumben, biasanya Ibu marah kalau ada yang tidak sependapat dengannya.
Sarayu tidak lagi menimpali omongan. Dia membiarkan Ibu meromantisasi kesedihannya karena merindukan Bapak.
Dia tidak tahu apakah malam itu Ibu benar-benar mengerahkan tenaganya untuk menangis, yang pasti ketika pagi Sarayu bangun mata Ibu terlihat sedikit sembab. Senyumannya pun bersembunyi, tak nampak sedikit pun.
Saat wanita mengatakan ia membenci laki-laki, tak butuh lagi, itu hanyalah kebohongan. Dari lubuk hati terdalam, cintanya masih utuh, setegar karang yang berdiri kokoh di lautan, ombak menerjangnya, tapi dia masih bertahan. Setiap kata mati yang Ibu sematkan kepada Bapak, Sarayu bisa tahu bahwa itu berkonotasi lain, hidup, Bapak tidak benar-benar mati dalam kepala Ibu. Jadi, semua perkataannya bohong hanya demi mendahulukan emosi dan kekesalan.
Sarayu pergi ke kamar adiknya. Bocah itu masih berlibur di pulau kapuk dengan dengkuran kecil, persis seperti Bapak. Sarayu menggoyangkan bahunya dan laki-laki itu langsung menggeliat begitu liburannya usai.
“Bayarkan uang SPP-mu kali ini,” ujarnya dipenuhi penekanan.
“Hm.” Dia hanya menggeram sembari masih asyik menggeliat.
Kepalanya menggeleng, dia tinggalkan kamar yang cahayanya sudah meredup itu untuk membantu Ibu membuat adonan gorengan. Dia menuangkan terigu ke dalam wadah berwarna kuning berbahan plastik yang cukup tebal, dilanjut mencampurnya dengan air sesuai dengan takaran. Tidak lupa juga dengan bumbu halus campuran beberapa rempah, garam, dan juga penyedap rasa. Ibu mengeluarkan segepok dari dalam lemari untuk diolah menjadi pisang goreng—primadona ibu-ibu gengnya Sawitri.
Dua kompor di dapur menyala bersamaan, satunya memasak pisang goreng, satunya lagi untuk menggoreng telur mata sapi sebagai sarapan mereka pagi itu. Anak-anak Ibu sudah memakai seragam sekolah masing-masing. Meski setiap hari hanya terpampang menu yang itu-itu saja, mereka tidak ada yang mengeluh. Nenek selalu menerapkan agar mereka bersyukur atas keadaan. Johar juga tidak pernah memprotes makanan, entah karena dia hanya ingin kenyang atau memang tidak peduli, dia hanya tahu soal uang.
“Aku berangkat dulu, Bu,” pamit Sarayu.
“Antar adikmu juga,” pinta Ibu. Sarayu mengangguk.